Sering orang mempertanyakan soal sosialisasi anak-anak Homeschooling ketika pertanyaan mereka tentang jalur pendidikan anak-anak Homeschooling telah kami jawab dan mereka pun menyadari betapa pentingnya makna pendidikan bagi seorang anak manusia
- Hubungan swami istri
- Hubungan kami dengan keluarga besar
- Hubungan anak dengan kami berdua
- Hubungan anak dengan Tetangga
- Hubungan kami dengan Tetangga
Hubungan swami istri.
Hal yang terpenting dalam menjalankan pendidikan berbasis keluarga adalah pasangan kita, dimana kita akan bersinergi satu sama. Kadang kami berdua ini lebih merasa seperti partner kerja dibanding seorang suami. Karena bagaimanapun kami harus bekerja sama untuk menjalankan sebuah proyek besar yang kami sebut dengan proyek peradaban yang berupa pendidikan Berbasis Keluarga atau Homeschooling.
Sebagai pasangan suami istri layaknya orang-orang pada umunya. Kami tak bisa menolak percikan-percikan api yang kerap kali memunculkan cek cok satu sama lain. Dan ini adalah sesuatu yang paling berat untuk menghindarkan anak melihat secara langsung bahwa kami sedang ada masalah yang serius.
Salah satu pemecahannya ada pada flash back pada individu kita masing-masing;
"Untuk apa kita hidup di dunia ini?"
"Seberapa lama kita bisa menikmatinya"
"Mungkin beberapa detik kemudian atau bahkan saat itu juga andai salah satu dari kami tidak ada. Akankah kehidupan ini terasa sunyi atau justru menyeramkan"
Pikiran-pikiran itu terus berputar-putar dalam pikiranku ketika masalah itu terjadi. Mungkin itulah yang bisa saya pelajari dari ayah mertua makna dari "di gelar- di gulung" dalam berkeluarga. Yang kemudian perlahan menyurutkan ego kami masing-masing, terutama saya dengan watak lebih keras dibanding suami.
Dan satu hal yang sering kami perhatikan adalah, Jangan Pernah Pergi sebelum masalah selesai. atau setidaknya menunggu emosi masing-masing dari kami mereda.
Untungnya suami ini punya selera humor yang tinggi. Ini lumayan efektif juga untuk meredakan suasana yang pahit, meski dengan humor yang masih terasa anyir, karena api emosi baru saja akan mereda.
Tak jarang pula, anak jadi senjata ampuh untuk membuatku malu ketika suami tertawa dan saya masih harus bersungut-sungut.
Terkadang pula ada adegan haru dengan sebuah pelukan atau kecupan kening saat suami minta maaf di depan anak-anak. Dan secara tidak langsung ini seolah mengajarkan anak-anak, bagaimana kami menyelesaikan masalah dengan permaafan.
Dan hal yang paling kerap kami lakukan adalah keluar malam, di saat anak-anak telah tertidur. Kami keluar hanya berdua untuk menikmati malam. Terkadang ditemani sarapan, kadang hanya makanan ringan, kadang juga hanya sekedar keliling-keliling. Setidaknya ini membuat kami merasa rileks.
Beda halnya ketika anak-anak masih balita, kami jarang berani meninggalkan mereka sendirian di rumah. Jadi kami hanya ngobrol-ngobrol hingga larut, kadang hampir subuh untuk membicarakan segalanya yang terjadi di rumah ataupun di kantor.
Karena suami termasuk orang yang paling tidak bisa menahan untuk tidak cerita apa yang dilihat dan di alaminya, jadi apapun ia akan ceritakan semua kejadian-kejadian di kantor. Dan mau tidak mau ini sering menjadi beban buatku. Apalagi ia bekerja di area yang sarat dengan politik.bisa dia ceritakan.
Tapi sisi lain ini justru menguntungkan, karena saya pun jadi tahu apa yang terjadi di luar sana. Di saat saya tidak di siinya.
Hubungan kami dengan Keluarga Besar.
Kami bukanlah keluarga sempurna sejak awal, tapi kami berdua punya tekad bulat untuk mewujudkan keutuhan itu dan tetap menjaga keharmonisan sampai kapanpun.
Meskipun sejak awal sebenarnya pernikahan ini tidak pernah mendapat restu setulusnya dari pihak keluarga suami karena perbedaan status. Yang mana di belakang hari itu justru menjadi akar permasalahan panjang kami berdua dalam berkeluarga.
Dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun. Sebenarnya tiap keluarga memiliki masalah besar sendiri-sendiri yang jika tidak diiringi dengan niat awal yang baik akan berujung pada perceraian. Begitu juga dengan kami. Keluarga muda yang kebetulan sama-sama gilanya, melakukan hal-hal di luar kemapanan orang-orang pada umumnya. Terutama keluarga suami dengan background agama konvensional orang desa dan pendidikan ala pemerintah yang berlaku saat itu.
Di sini saya tidak bermaksud menguak aib sebuah keluarga. Namun mau tidak mau, inilah yang akan kita hadapi saat bersikukuh melaksanakan program Homeschooling. Meskipun bagi kami keluarga itu pentingm, namun lebih penting lagi dibandning atau pendidikan berbasis Keluara. Yang mana keluarga menjadi sentral pokok sebuah permasalahandihadapi tiap keluarga. Baik ketika ingin menjalankan program Homeschooling maupun tidak. Tapi yang jelas, pendidikan menjadi number one bagi sebuah pabrik peradaban, yakni Keluarga.
Kembali bicara soal kami, mungkin kasus anda berbeda. Bisa saja lebih rumit, bisa saja lebih mudah. Dan saya kira Allah itu memberikan manusia pilihannya itu dengan berbagai macam cobaan yang kuat. Di titik inilah suami sering mengingatkanku bahwa saya adalah "Makhluk pilihannya".
Suami yang menjadi anak emas dalam keluarganya yang dipandang paling memiliki prestige karena pekerjaannya itu dibanding saudara-saudaranya seakan tidak rela jika saya sering meminta tolong untuk melakukan banyak pekerjaan yang seharusnya dilakukan kaum perempuan yang tidak bekerja, dan hanya berpangku tangan di rumah. Seperti memandikan anak, nyeboki, cuci piring, kadang juga dia harus menyetrika sendiri baju seragam kantor (saat saya benar-benar letih).
Setelah beberapa tahun kami menjalani dengan beban yang luar biasa berat ketika berinteraksi dengan keluarga swami, yang kebetulan saya tinggal satu kota dengan keluarga itu. Hari-hari keluarga kami nyaris saja hancur berujung perceraian. Hingga beberapa malam kami sering begadang hanya bicarakan soal masalah yang tak pernah selesai yang pada dasarnya hanya soal "suka" dan "tidak suka". Tentu saja dengan kekuatan doa yang tiap saat kami dengungkan dalam pikiran dan hati agar masalah segera selesai dan kami mampu mengantarkan anak-anak ini menjadi generasi bangsa yang sehat dan mandiri. Itu adalah doaku ketika kata "perceraian" seakan di depan mata.
Ketika jalan utama kedua dan ketigaku tidak berjalan, ku ambil jalan ke empat, yakni mengambil sikap diam dan menjauh dari mereka. Apapun komentar mereka. Tentu dengan konsekuensi kami merasa seperti terasing di daerah kami sendiri. Niat kami sejak awal dalam pernikaan ini adalah menjaga kehormatan, bukan adu mulut yang melelahkan dan hanya menyakiti satu sama lain. Dan yang jelas ini justru merusak mental dan psikis anak-anak karena harus mendengar adu mulut kami sepanjang hari.
Dan sejak kami menjauh dari mereka, psikisku pun mulai membaik. Anak-anak spesial ini mulai menampilkan dirinya dengan potensi masing-masing yang luar biasa.
Di tahun pertama psikis saya yang masih mengalami depresi luar biasa hebat, nyaris seperti agar-agar yang mudah retak dan lubang jika tersentuh. Bahkan sempat mengalami fobia jika bicara soal mereka karena menurutku itu bukan lagi masalah sepele. Karena yang saya hadapi bukan lagi satu keluarga inti itu, melainkan sampe keluarga buyut-buyut.
Untuk itulah, sementara waktu hubungan anak-anakku dengan keluarga besar itu (terutama dengan nenek) pun terpaksa sedikit agak terputus. Karena ketika mereka selesai bertemu dengan keluarga itu pun mau tak mau aku harus mendengar celotehnya tentang mereka yang paling tidak bisa aku dengar saat itu.
Suatu waktu saya bingung ketika ditanya si sulung Reka, "Kenapa kita nggak pernah ke tempat mbah lagi?"
Awal mula pertanyaan itu sering mengaduk-aduk pikiranku, karena waktu itu usianya baru 6,5tahun. hingga suatu hari saya beranikan diri menjawab pertanyaan itu dengan alasan se logis mungkin.
"Kakak nggak mau kan, kalau ibu dan ayah bertengkar terus menerus seperti kemarin?"
"Nggak,"
"Kakak juga nggak mau kan kalau bapak dan ibu sampai pisah, dan nggak tinggal satu rumah lagi?"
"Nggak mau,"
"Kak... kakak tahu nggak? ayah dan ibu tengkar terus menerus seperti kemarin itu karena mbah nggak suka kalau ibu bareng-bareng sama ayah seperti ini"
"Lha kenapa?"
"Nanti kalau kakak sudah besar tak ibu jelaskan"
Terpaksa itu saya lontarkan, meskipun terdengar sangat pahit. Dan mungkin nggak patut diperdengarkan untuk anak usia 7tahun. Tapi bagiku, inilah awal pendewasaan dia untuk mengetahui penyebab kedua orang tuanya tak berhenti cek cok.
Perlahan namun pasti, sejak itulah ia tak pernah lagi merengek minta ke tempat mbahnya.
Hubungan Anak dengan Kami Berdua
Hubungan kami nyaris seperti teman, sahabat, kadang juga musuh.
Dan Alhamdulillah, mungkin dari perihnya perjalanan kami sejak hamilnya dia hingga kini. Ia menjadi anak yang lebih dewasa dibanding anak-anak seusianya. Inilah yang sering saya lupakan. Bahwa usianya masih terlalu muda untuk memahami berbagai peliknya permasalahan hidup yang harus kami hadapi bersama.
Dari sekedar masalah sepele soal jajan, sampai hal-hal besar seperti masalah di atas.
Dengannya kami benar-benar merasa sering tertolong dan diingatkan olehnya. Seperti ketika saya mulai menaikkan nada suara pada Hikam adiknya.
"Ummi, jangan marahi Hikam. to,"
"Dia kan mau naik ke sana ambilkan jemuran" tukasnya saat aku melihat Hikam mulai bergelayutan pada gantungan jemuran dan khawatir baju-baju itu berjatuhan.
Begitu juga dengan ayahnya yang sering nerabas lampu merah dan menerobos di atas trotoar dengan motor.
"Ayah, ini kan buat jalan kaki. Bukan buat motor"
"Ayah, itu kan lampu merah... jangan diterabas"
Hubungan Anak dengan Tetangga
Reka tipikal anak yang suka bersosial. Sementara kebalikannya, Hikam adalah anak yang suka asyik dengan dunianya sendiri. Meski demikian, Reka ini anak yang sensitif. Jadi saya nggak heran ketika dia pulang-pulang nangis hanya gara-gara masalah sepele. Begitu sebaliknya Hikam. Dia anak yang tak begitu peduli dengan ada dan tidaknya teman. Dia bisa enjoy main sendiri dengan wayang-wayangnya di saat anak-anak tetangga seru-seruan main dalam rumah kami yang sempit.
Awal mula kami pindah ke rumah baru, yang tentu saja dengan lingkungan baru. Saya sempat shock menemui satu keluarga dengan dua anak yang mbadungnya naudhubillah. Tapi si orang tua cuek dengan sikap anaknya yang suka sering kurang ajar dengan para tetangga, apalagi anak-anak. Bahkan jauh-jauh hari saya sudah diwanti-wanti si pemilik rumah kami dulu, bahwa di situ ada satu anak yang nakalnya kaya' setan. awal mula saya tidak percaya begitu saja. Apalagi ketertarikanku dengan dunia anak-anak yang nyleneh.
Pada suatu ketika anak-anakku ini menjadi bulan-bulannan korban bully mereka. Dari ajakan anak-anak di komplek itu agar tidak berteman dengan anak-anakku, sampai pada fisik yang justru sering dijumpai neneknya tetangga.
Bahkan di belakang hari rupanya mereka sudah tidak lagi merasa takut dengan kami sebagai orang tua. Di depan kami dia berlagak bos yang petantang-petenteng dengan gayanya yang angkuh, kata-katanya yang sombong dan mencemooh. Apalagi ketika ada orang tuanya di situ, ia semakin berani menampilkan kekurang ajarannya pada kami.
Hingga suatu saat saya mengeluhkan kejadian ini pada tetangga depan rumahku yang saya kira lebih tua dari kami, meskipun belum nikah. Namun yang saya jumpai bukannya dia menyelesaikan masalah dengan gentle (sebagai orang yang lebih tua) namun justru menjadi masalah tambah runyam.
Di detik-detik inilah keberanianku benar-benar diuji menghadapi situasi buruk yang benar-benar pahit. Kami sudah tidak nyaman lagi berada dalam rumah baru yang sempit. Dan seumur-umur, baru kali itu saya berani berteriak dan memarahi orang lain, yang tak lain itu adalah ibu dari dua anak tersebut.
Meski di belakang hari saya pilih menghindari pertikaian lagi dengan cara menghindari mereka untuk meredakan kejengkelanku saat melihat kurang ajarnya anak-anak ini terhadap kami berdua sebagai orang tua dari anak yang sering mereka bully.
Dan di hari-hari berikutnya pula, mulai terdengar desas-desus para ibu membenarkan sikapku yang terbilang berani melawan keluarga itu dengan terang-terangan. Karena selama ini para tetangga malas sekedar mengingatkan sikap orang tuanya yang cuek dan sering terkesan membenarkan sikap anaknya yang kurang ajar dan suka membully anak-anak yang lebih kecil di komplek itu.
Ditambah lagi sederet masalah keluarga itu yang pernah berurusan dengan pihak kepala sekolah dan polisi gara-gara tingkah anaknya itu.
Perlahan namun pasti. Para tetangga sering memperingatkanku agar selalu menunggu anak-anakku saat mereka bermain dengan anak itu. Awalnya saya turuti, tapi rasanya ini terlalu protektif pada anak-anak dalam zona nyaman orang tua. Perlahan namun pasti, aku tetap mengawasi dari celah-celah pagar rumah tanpa mereka ketahui. Dan sikap anak itu tetap sama, masih sering mengajak mengucilkan anak-anakku dari anak-anak lainnya.
Tapi apa kata Reka
"Dia sudah minta maaf ke aku, ummi... katanya nggak akan nakal lagi sama aku"
"Oh iya to?" kataku
Meskipun dalam hati tetap ndongkol saat mendengar anakku si sulung ini sering diolok-olok dengan ujung-ujungnya sering dikucilkan.
Meskipun sering aku support dia untuk melawan, tapi sikapnya lebih banyak mengalah dan menangis. Tak pikir, okeylah... mungkin ini adalah awal tantangan dia menghadapi lingkungan masyarakat yang buruk. Tapi lantara bukan berarti saya membiarkan dia tetap di Bully. Saya sering katakan kalau dia nggak mau berteman denganmu, masih banyak kok anak-anak lainnya yang mau berteman denganmu.
Saya gunakan prinsip ayat bahwa "Bumi Allah itu luas, hijrahlah jika kamu merasa kesulitan dan kesempitan dalam daerah itu"
Saya gunakan juga, bahwa semua orang buruk pada akhirnya dia akan terkalahkan. Apapun alasannya. Jadi ketika mereka punya perangai yang buruk, dia pasti akan dikucilkan di masyarakat. Dan suatu saat mungkin dia akan kembali mau berteman denganmu.
Benar juga apa yang saya katakan ini.
Sejak seringnya saya katakan, cari teman lainnya kalau dia masih nakal. Masih banyak teman baik yang bisa kamu ajak berteman. Itu lebih baik buatmu, daripada kamu tetap ngotot mau berteman dengan anak buruk perangainya.
Itulah awal mula dia mulai mengenal anak batita di sekitar komplek kami yang jarang keluar rumah, dan entah bagaimana caranya dia bisa main dan masuk ke rumahnya. Bahkan di belakang hari ada laporan ibu dari ibu muda itu (yang saya sendiri masih asing dengannya) mengaku senang kalo Reka main ke rumahnya.
"Reka anaknya sopan ya bu... kalau mau pegang mainan pasti tanya "Tante, boleh pinjam mainannya itu nggak?"
Awalnya saya agak heran, gimana caranya dia tiba-tiba bisa masuk ke rumahnya yang selalu tertutup rapat. Karena suami istri sibuk kerja sepanjang hari, sementara si anak itu hanya dengan pembantunya sepanjang hari hingga sore.
Begitu juga dengan ibu-ibu lainnya yang laporan waktu arisan
"Bu... mbak Reka anaknya pinter ngemong ya... Kiyla itu kalau mbak Reka mau pulang pasti ditangisi nggak boleh pulang"
Kaget setengah tidak percaya mendengar itu. Selama ini Reka yang ku kenal memang dia jarang bertengkar dengan adiknya. Andai pun tengkar, nggak begitu lama terus cekikikan lagi.
Awalnya aku khawatir ketika Reka main kesana ajak Hikam. Karena menurutku sikap Hikam memang kadang suka lost kontrol ngrusak barang tanpa sengaja. Tapi seiring berjalannya waktu, saya mulai menanamkan prinsip kepercayaan pada mereka.
Bahwa mereka adalah anak-anak baik yang tidak akan berbuat merugikan orang lain. Apalagi ketika Reka mulai mampu mereport dengan jelas beberapa kejadian di luar usai bermain.
Hubungan kami dengan Orang Lain
Suami adalah orang yang paling suka bersilaturrahmi ke rumah orang. Awalnya saya pribadi sering merasa risih karena anak-anakku ini termasuk anak-anak yang aktif. Mereka suka menjelajah ke sudut-sudut ruangan, jika tidak saya tahan dengan berbagai bujukan yang terkadang sering jebolnya. Terutama Hikam yang suka keluyuran keluar masuk ruangan. Terkesan mereka ini anggak tahu sopan santun karena nggak sekolah.
Dan ini tak jarang terucap dari si penghuni rumah agar memasukkan sekolah saja biar bisa gabung dengan teman-temannya. (yang saya tangkap, biar anak-anakku tahu tata sopan dan etika). Awal-awal masukan seperti itu terdengar begitu keras di telinga. Tapi seiring berjalannya waktu, mereka mulai memahami sendiri bagaimana ketika ayahnya bertamu. Reka menjadi kontrol tingkah laku Hikam.
Awalnya juga ada tetangga yang agak sedikit menyudutkan anak-anak kami yang tidak sekolah. Apalagi saat pagi-pagi (saat anak-anak seusianya masuk kelas) mereka justru keluyuran manjat pohon di luar, yang sesekali mendapat teguran dari tetangga yang risih melihatnya. Apalagi saat mereka belum pada mandi. Terkesan anak nggak keurus
No comments:
Post a Comment