Terkadang saya ini ngerasa "Apa jangan2 semua anak laki2 itu sama seperti Hikam?"
    "Apa saya aja yg terlalu heboh atasi si satu anak ini?"
    "Atau karena saya terlalu banyak di rumah sama dia,tambah nggak ngerti bagaimana anak2 itu tumbuh"
    Meski sisi lain swami sendiri sebenarnya hampir nyerah "sudahlah, biarkan dia masuk sekolah aja"
    "Psikolog mana? Siapa? Dimana? Ayo kita datangi"
    Tapi sayangnya itu semua sudah pernah saya share dan mintai pendapat ke beberapa teman komunitas. Ada 2 yg sy ikuti.
    Komunitas anak Homeschooling
    dan komunitas Gifted. Dua2nya memang beda cara sudut pandang. Terkadang saya mengikuti salah satu pola yang mereka ajarkan, meski sisi lain ini justru menjadi boomerang bagi kami.
    Yg satu, membiarkan anak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya.
    Cuman pertanyaanya
    "Sampai kapan?"
    "Akankah sy biarkan begitu saja, dan membimbingnya seperti anak2 pada umumnya?" Pada kenyataannya jika ini saya terapkan sering menimbulkan boomerang bagi hubungan kelekatan kami.
    Sementara tumbuh kembang dia memang lebih khas, butuh penanganan dan pemikiran 2x lipat lebih dibanding anak2 seusianya yg sy lihat.
    Yang satunya lagi, tentu lebih exclusive. Menangani sesuai jalur tumbuh kembang ke khasan anak2 ini. Tentu saja dengan bantuan para tenaga ahli.
    Tapi masalahnya kebijakan negara ini tidak sejalur. Ini yang bikin repot para orang tua.
    Lebih dari sekedar finansial, tapi juga pikiran dan tenaga yg harus bekerja sendirian, seorang diri.
    Misalkan anak ini tetap sekolah, bagaimana dengan kesanggupan para guru. Saya sendiri sering kasihan melihat kehidupan para guru yg saban hari di pressure oleh tuntutan pemerintah, meskipun gaji pns nya melimpah.
    Nggak ada maksud meremehkan.
    Sejauh ini kami berdua, selaku ortu saja kewalahan menuruti kemauannya yg luar biasa kuat. Apalagi guru, yg notabene orang lain dengan tuntutan seabreg dari pemerintah.
    Akhir2 ini kami sering lakukan meditasi dan renang untuk mengurangi kejengkelan kami sepanjang hari pada dua anak ini.
    Meskipun sebenarnya ini sudah hampir bertahun2 kami lakukan, tapi tetep saja, sekali lengah. Jebol sudah kesabaran kami yang berujung pada tak terkendalinya 2 anak ini.
    Ayahnya yang tengah pegang kendali mobil sering jadi amukannya ketika kami pergi dan melewati jalur ke Sanggar nya. Awalnya saya kalap mari hikam karena kondisi jalanan sekitar itu begitu sibuk. Truck peti kemas, bus dan mobil saling salip2pan, jika Allah nggak melindungi, seper sekian senti roda goyang, tabrakan sudah.