Thursday, February 11, 2021

Meditasi Membuka Pintu Misteri Kehidupan anak-anak

Saat masuk Pandemi Covid -19, rasanya segala pintu dibuka buat kami sekeluarga yang memiliki anak-anak istimewa Gifted.

Kami yang sudah terbiasa belajar di rumah sebenarnya tidak terlalu berdampak apa2, kecuali les reka yang mungkin bisa dibilang menguras biaya dan tenaga.

Inti dari les ini sebenarnya dia mencari teman yang pas. Tapi rupanya dari dulu hingga kemarin tetap saja banyak nggak cocoknya dengan teman-teman kursusannya.

Begitu masuk masa pandemi semua kegiatan totally off, Hikam cuman sesekali saat latihan panahan yang akhirnya totally off lagi.

Awal pandemi seperti anugrah besar buat kami yang tidak begitu banyak jajan psikolog maupun therapi. Selain faktor waktu, tenaga, kadang banyak pikirannya juga, dan yang utama adalah biaya.

Pendampingan demi pendampingan saya ikiti, kadang saya diikutkan begitu saja. Atau malah dapat wawancara dari mahasiswa yang sedang mempelajari apa itu Gifted.

Okey, semua membuat saya plong.. karena banyak keluhanku yang akhirnya terpahami.

Hingga di ujung waktu, pendampingan demi pendampingan selesai semua. 

Namun masalah tetaplah masalah.

Saya hanya seorang ibu Homeschoolers, yang meskipun tidak bekerja, tapi tetap belepotan mengatasi 2 anak gifted dan satu balita.

Bagaimanapun kita atur jadwal sedemikian rupa, dengan obrolan demi obrolan sebagai penyemangat. Tapi ketika hati kita tidak hadir menerima dia seutuhnya, apa adanya dan se ikhlas2nya. Tetap saja jatuhnya anak2 yang pinter membaca hati orang tua bakalan marah besar karena merasa diperlakukan seperti robot.

Yang sebenarnya bagi dia sudah diperlakukan seperti robot, namun bagiku ketika melihat anak2 pada umumnya, saya sudah termasuk sangat mengikuti mereka. Atau kasarnya, mereka sudah bisa mengendalikan kami, terutama saya sebagai ibunya.

Padahal pembiaran dalam teori Gifted tidak dibenarkan.

Mulailah tantrum demi tantrum hebat terjadi, yang puncaknya saya sudah merasa tidak kuat dengan energi besarnya Hikam menguasaiku. Suami saya paksa ijin sehari.

Pagi2 pikiran kalut, saya masuk kamar dan tutup. Masa bodoh, masih ada ayahnya yang mendampingi.

Saya tidak berharap banyak saat masuk kamar, dan pikiran seperti sudah sangat runyam.

Sehari itu, aman. Karena suami tidak meminta dia kerjakan apapun.

Begitu pagi harinya, saya berpikir lagi, bagaimana caranya agar ia tetap mau belajar. Minimal mau mengerjakan tabel perhitungan.

Dengan sedikit ajakan, dia sudah mulai meledak dan melawan yang akhirnya terjadilah tantrum luar biasa. Saat aku dekap, dia berusaha brontak dan melawan, hingga kepalaku pun harus kebentur keras ke tembok dan pusing. Tapi karena kondisi kalut menahan tendangan dia, lagi2 aku dekap berusaha menahan ledakan seperti kemarin2. Karena melihat kepalaku yang terjepit, reka pun meledak emosinya melihat kelakuan adiknya dipukullah dengan gagang sapu berulang kali.

Bukannya reda dan takut, Hikam malah justru makin menjadi2.

Sampai malam hari jelang maghrib, ia kembali nangis dan marah gara2 saya minta dia ngaji. Dia cuman diam dan diam, tak beranjak dari tempat duduknya.

Entah bagaimana mulailah kembali meledak, dan mengejar2ku dari satu ruangan ke runagan lain nyaris seperti hendak mau mencekik.

Saat itu aku sadar beberapa orang yang mengatakan dia peka dengan suara2 seseorang. Saat itupun aku berusaha tulus dan ikhlas.

"Aku menerimamu apapun keadaanmu, seikhlasnya, setulusnya"

Saat itu aku keluar dari kamar sementara dia duduk di depan tv bareng suami, dia menolehku masih dengan mata penuh kebencian. Namun sebentar aku sentuh kakinya dengan berusaha meyakinkan hati dan pikiranku menerima dia, dan ia pun nangis sesenggukan minta maaf kepadaku.

Saat itupun kami nangis bareng.

Saya belum berani banyak bicara, hanya mendoakan dan mendoakan.

@@

Pagi sebelumnya saya kalut, iseng saya telpon bu Patricia yang saya anggap banyak channel dan welcome.

Beliau menyarankan anak2 ikut meditasi. Pagi harinya saya masih ragu dan berusaha menjaga mood semuanya.

Pagi yang entah ke berapa kalinya barulah saya ikuti meditasi, pagi dan malam. Entah manfaatnya apa, yang penting pikiranku tenang. Itu saja.

Satu dua minggu perlahan emosi Hikam mulai reda, dan si kakak pun ikut terbawa suasana Hikam yang tenang.

Qodarullah pagi yang entah ke berapa, pagi2 saya buka FB baca status seorang teman. Dia juga ikut komunitas Gifted. Dia Indigo.

Saya komentar sekali dua kali, dan akhirnya mendarat di messanger.

Entah bagaimana saya seperti di tuntun. Tiba2, saya mau kirim foto anak2 begitu saja.

Dan "Duarrrrr..!!!" lagi2 pernyataan dia membuatku shock akan pandangan dia tentang bagaimana dunia anak2 dengan dimensi sebelah.

Kembali pada kata "Denial". Sejak mereka anak2, bahkan balita. Saya sering denial jika ada seseorang yang mengatakan bahwa mereka itu punya dua dimensi.

Apalagi Hikam yang penampakan luarnya bukan main repotnya.

Bahkan seorang sahabat swami bilang "Awune ndekne iku luweh tuwo ketimbang awumu mbak..".

Saat itu, detik itu aku percaya.

Lantas hari2 biasa??? hal begituan mau ku apakan??? pikirku dalam hati yang berusaha terus mengejar dunia ketertinggalan dia di usia anak2 pada umumnya.

Lalu ada satu kata yang sering saya ingkari.

"Bahwa mereka bukanlah anak-anak biasa, melainkan anak-anak Istimewa, yang memiliki kelebihan di atas rata2"

Lalu batin saya perang lagi.

"Gimana bisa dibilang di atas rata2? lha wong IQ aja pas2an"

"Bakat saja nggak cukup, harus ada kerja keras" 

Tapi semakin saya ajak kerja keras, bukannya dia semangat malah ndeprok dan mbedodok. Ini terjadi pada Reka. 

Apa yang kurasakan, aku selalu merasa dalam posisi salah dalam menangani dia. Apalagi dengan bengongnya yang super duper, membuatku kudu pingin pukul dia karena saking gemesnya. 

Dan rasanya percuma saja saya ajak memikirkan hari esok, berhari-hari, berminggu2, bahkan bertahun2.

Mengapa? 

Karena ternyata, ia melihat sesuatu yang lain, selain dunia ini. Dan itu membuat dia bengong.


Awal percaya dia mampu "melihat"

Hingga pada hari-hari berikutnya, Amira rewel bukan main. 

Teringat cerita dari mbak Pu*** tentang Reka dari fotonya yang membawa teman2nya dari kuburan, saya pun mulai geram dengannya ketika adiknya rewel nggak wajar. 

Satu malam dia nangis dari sore hingga hampir jam 3pagi. 

"Apa ada yang ganggu?" tanyaku, saat itudia jengkel nggak bisa tidur di atas karena keganggu adiknya yang sesekali nangis kenceng nggak wajar.

"Iya,"

"Suruh pergi, bilang, jangan ganggu adikku" kataku yang masih ngelus2 amira yg ngusek2 nangis hadap ke tembok.

"Ngeyel kok,"katanya

"Pokoknya suruh pergi"

Saat itu aku baru mulai percaya dengan kemampuan melihatnya. Sisi lain teringat bambu kuning yang saya tanam beberapa hari yang lalu dari kantor swami. Saya minta swami untuk mencabutnya malam itu juga. Tapi sepertinya dia punya perhitungan lain, yang akhirnya sampai pagi masih utuh tertancap.

Begitu Amira bangun, hati kembali kacau ketika dia rewel bukan main. Beberapa malam sudah nggak bisa tidur, membuat badanku lemas dan pagi itu... saya pasrah dengan fisikku yang benar2 lemes. Minggu-minggu yang berat. Bukan saja berat fisik, namun juga psikisku yang mulai terganggu.

Saat ingat pohon bambu, tanpa memikirkan semua belum sarapan, saya cabut 3pohon bambu dengan bonggol lumayan besar. Dengan sisa minyak jlantah sebotol saya bakar pohon itu dengan kertas bekas print out pelajaran mereka.

"Apa sudah pada pergi?" tanyaku pada reka

"Iya, mau pada pergi" katanya

"Itu, ada yang pada naik di atas. Berisik banget. Marah2 mereka..." katanya

"Masa bodoh," pikirku dengan sisa2 energi yang ada.

Di detik itu saya nyaris seperti masuk dalam dongeng anak2 misterius dengan teman2nya. 

Mau nggak mau, suka nggak suka enak nggak enak. Saya dipaksa tahu dunia dimensi sebelah yang sebenarnya membuatku kepo, tapi tidak dalam keseharianku.

Hingga pada bonggol/bagian akar bambu susah bukan main. Api lagi-lagi mati, sementara badanku sudah mulai gemeteran antara lapar, capek, ngantuk, campur aduk nggak karuan.  

"Dibuang aja ya mbak Reka?" kataku pada sulung yang riwa riwi keluar masuk, keluar masuk.

"Dibuang situ aja, gimana?" pikirku menunjuk pada tanah kosong sebelah rumah tetangga.

"Jangan mi, situ sudah buanyak banget"

"Yo malahane to, biar ada temannya"

"Pokoknya jangan"

"Lha terus dimana?"

"Tapi jauh 'e, Mi"

"Nggak apa-apa, ayo sekarang" kataku dengan keringat mulai dingin sempoyongan. 

"Tapi untung saya masih bisa genjot semua energiku yang akhir2 ini benar-benar seperti  sedang melayang"

Ku antar dia ke Tempat Sampah Sementara dekat GOR. Sebelum sampai ke tempat pembuangan saya sengaja berhenti daripada dianggap aneh membuang sampah kayu bakar.

"Sini aja mi," katanya

Begitu turun, "Sudah kamu doakan?"

"Sudah" katanya

Hari berikutnya Amira masih sedikit rewel, dia cerita kalau kemarin sepanjang pulang masih ada beberapa yang ikut.

Saat itu saya yang belum tahu banyak dunia semacam itu, kesel bukan main.

Tapi begitu makin kesini, 


Awal Hikam mulai "kebaca"

Hari minggu seperti biasa kami bingung mau kemana, tapi hatiku seperti dituntun keras untuk ke tempat mbak If***.

Ayah pun punya agenda mampir ke rumah saudara yang tahu ilmu2 "tuwo". Nggak banyak yang kami dapat dari dia yang paham detil sejarah orang jawa dengan kerajaan2nya.

Begitu kami sampai ke rumah temanku, dia mulai tanya soal Reka. Minggu2 sebelumnya dia memang pernah menanyakan soal Reka. Tapi saya nggak paham, dan nggak nge klik juga ke arah itu.

Dia mulai cerita soal kondisi yang masih limbung, dimana masa itu pernah dilewati Hikam sebelumnya yang luar biasa berat.

Dia pun mulai bercerita, bagaimana Hikam mampu melewati masa-masa beratnya dengan selmaat, dimana semua orang kadang bisa stress karen amengalami fase2 yang dialami Hikam.

Spontan mataku mulai berkaca2 membayangkan beberapa tahun sebelumnya yang betapa sulit dan merepotkannya menghadapi hari2 bersamanya.

Saat malam ayahnya menunjukkan foto bude dan pakde nya, dia tanya, ini siapa? kata ayahnya.

"Kunti" jawabnya santai kembali pegang hp

Temanku menjawab, "Iya"

Spontan aku kaget bukan main, "Apa beneran?" dalam batinku

Lagi2 ayahnya menunjukkan beberapa foto, termasuk foto kakak2nya beserta keluarga, ia tanya Hikam dan cek ke temanku. Iya mengiyakan begitu saja semua yang dikatakan Hikam.




Perkembangan Amira 2-3tahun

Ledakan perolehan kosa kata terjadi dalam waktu satu tahun belakangan pasca kecelakaan di tahun 2021 Maret 28. Yang sebenarnya d...