Thursday, March 25, 2021

Awal Mula saya tahu, jika dia indigo

Satu hari seorang ipar yang diaggapnya banyak menyakitiku chat ke si sulung gara2 status horrornya, "Tinggalkan aku sendiri, atau kau akan mati" kurang lebihnya begitu bunyi status WA berbahasa inggris.

Saya sebagai ibunya yang sudah tahu karakternya yang kadang bersifat sarkastik, namun sebenarnya ia punya hati yang baik sudah terbiasa dengan hal2 semacam itu.

Bahkan beliau komplain ke swami, kenapa anaknya sampai sebegitunya?
Namun swami yang sudah tahu bagaimana jungkir baliknya saya menghadapi anak wedok ini dari teori ilmiah sampai teori sufistik dan mistik cukup berkata santai;
"Kalau nggak nggak tahu ilmunya, nggak usah ikut campur"
Dan saya lega dengan jawaban seperti itu yang cukup memproteksi saya sebagai ibunya.

Karena kasus-kasus semacam ini sejak dulu sering bener, sampai membuatku stress sendiri bagaimana keluarga swami ingin mengatur segalanya yang sebnarnya nggak tahu duduk masalahnya.

Karena bagiku ungkapan-ungkapan senada itu sudah bukan sekali saja saya mendengarnya, bahkan sejak ia masih usia kira2 10tahun.

"Kenapa ya mi? saya itu pingin dipeluk, tapi aku nggak mau disentuh"
Nah!!
Awal mula sebagai mantan pekerja sosial yang pernah menangani anak2 jalanan, korban human traffic, saya dan swami sempat curiga dan panik luar biasa.
Bahkan saya sempat mencurigai swami sendiri

"Apa yang pernah dilakukannya?"
Dia bersumpah demi Allah tidak melakukan apapun, demikian juga belakangan saya tanya pada si sulung, dengan berbagai cara.  Sampai satu ketika dia menjawab
"Ya Allah mi.. kenapa pikirannya ummi horor banget"

Lalu saya mau tak mau menarik waktu mundur jau ke belakang bagaimana saya mengasuhnya selama ini.
Sejak dulu sekali, saya memang merasa ada sekat antara saya dan dia. Jadi jika dibilang jarang memeluknya, iya banget.

Saya dengan anak ini seperti musuh dingin, yang sebenarnya sumber kekesalanku adalah dengan keluarga swami yang merambat ke swami. Lalu terakhir ke dia.
Masya Allah... benar-benar merasa bersalah.
Tapi sisi lain, saya pun tak bisa mengelak kejengkelan demi kejengkelan pada swami yang bermuara pada anak.

Dan sialnya, sebelum itu semua selesai, saya kembali mengandung Hikam.
Begitu Hikam lahir, saya benar2 kewalahan mengatasi dia. Dan saat itu, hampir saja saya tak melihat sosok Reka yang saya anggap, ini anak lebih dewasa dibanding usianya.

Meskipun di beberapa sisi dia jatuh.
Misal seperti ketika saya bilang, "Tolong ambilkan buku itu" Dia benar-benar seperti kebingungan" itu di usia 7th.
Saat itulah saya mulai dibuat kewalahan mengatasi bengongnya.
Yang belakangan ternyata itu adalah dimensi lain.

Namun Alhamdulillah di usia jelang 13tahun ini, dia mulai kembali trust kepadaku.
Mulai tidak merasa tertekan lagi denganku seperti tahun2 lalu, tepatnya sekitar usia 10tahun.




Friday, March 5, 2021

Misteri teka teki Hikam


Tidak sekedar ngobrol ngalor ngidul saja, melainkan ada penjelasan bagaimana karakter anak-anak ini. Dari ibu Endang Semarang, bu Julia Maria van Tiel dari Belanda, bu Adi D Nugroho dari Amerika, dan bu Evi dari Surabaya. Bagiku itu seperti surga dunia, kami bisa konsultasi ngobrol santai. Kurang lebih pendampingan demikian berlangsung sekitar 3-4bulan berturut-turut lamanya.

Hingga pada akhirnya saya masih merasa mentog, anak-anak ini harus saya apakan... kalau kenyataannya memang demikian karakteristiknya. Karena nyatanya Hikam, masih uring-uringan dan meledak nggak jelas, atau kadang hanya tersulut masalah-masalah sepele sekali.

Sampai di titik itu saya benar-benar pasrah, harus aku apakan...

Sabtu Minggu di masa pandemi Covid -19 menjadi touring horror, karena nyatanya benar-benar senyap, jalanan.

Sampai satu ketika, di waktu Hikam mudah tersulut api, saya merasa putus asa dan harus keluar rumah entah kemana. Saat itu kabar virus covid sudah sampai Solo. Dan acara reuni rutinan teman kelas smp swami seperti menjadi angin segar, sekaligus horror karena selain suasana jalanan yang mencekam, juga perasaan was-was yang menjadikan Hikam pun akhirnya meledak juga di acara tersebut, gara-gara saya larang nyebur ke kolam renang. Pulang dengan perasaan tetap acak-acakan. Membayangkan hari senin ditinggal swami, saya merasa benar-benar nggak kuat menghadapi emosi dia yang demikian.

Saya nggak tahu bagaimana memahami arti kata "pembiaran" dan "diikuti polanya" karena nyatanya, jika diikuti polanya akan semakin tidak berpola. Dan bayangan horror tentang dunia akademik terus menghantuiku. Apalagi tahun itu, dia sudah mulai masuk kelas 5. Sementara penambahan sederhana saja dia benar-benar kesulitan.

Sisi lain dia gemar membaca buku-buku berat seperti Madilog karya Tan Malaka, Di Bawah Bendera Revolusi karya Soekarno dan seterusnya.

Sampai satu hari, saking kalut dan tegangnya menghadapi hari-hari karena jadwal benar-benar tidak dijalankan, saya pun mulai kalut dan menekan dia memaksa untuk mengerjakan tabel penghitungan yang aku print dari Internet. 

Entah hari sebelum atau sesudah kejadian itu, di pagi hari dia ngamuk bukan main hanya gara-gara saya ingatkan untuk kerjakan tabel perhitungan simpel ala anak sd kelas 2. Mengapa agak saya tekan? karena teringat dia menghitung 5 + 3 saja kesulitan bukan main. Apalagi hitung-hitungan uang, misalkan ia beli makanan ringan, (di sini saya kadang lupa, bahwa dia sebenarnya bisa bahkan mampu, tapi ini terkait dengan konsentrasi dan fokusnya)

Hampir 2 minggu dia meledak marah ngeri banget. Bahkan pada satu malam, untung swami sudah pulang, selesai maghrib dia teriak-teriak seperti kesetanan. Dia mengejarku dari satu ruangan ke ruangan lain berasa hendak dicekik. Saya pun mulai berpikir keras, apa yang harus saya lakukan. Orang bilang, untuk menghindari pertengkaran, saya harus ngalah dan minggir, tapi kenyataannya malah justru makin kalap. 

Saya ingat betul tentang kata "penerimaan" yang saya dengar entah dari mana saja, rasanya kenyang betul teori-teori tentang anak Gifted, tapi kenyataannya tidak ada satu teori pun yang bisa saya terapkan ke dia. Saya hanya paham bahwa dia begini dan begitu, tapi apa yang akan saya lakukan, kehabisan cara. 

Di depan tv dia duduk bersama-sama,  kecuali aku. Diam-diam aku datang dan duduk dari belakang mereka ber empat. Dia yang masih digamit swami belum lost control pun masih nampak berurat merah.

Ingat seseorang (bu Wida, dari Krya) yang berkata, bahwa "Hikam ini bisa membaca hati seseorang pun, saya pun harus mempercayai itu dan menerima itu sebagai sebuah kelebihan. Dan apa yang terjadi di detik itu, saya nggak boleh menolak sisi abstrak dari dia, termasuk ada info tentang itu.

Jujur saja, sejak dia masih usia 2 hingga 3 tahun (dimana saya kudu jajan konsultasi dokter dan psikolog serta belanja buku teori apapun tentang anak-anak unik), tidak satupun orang yang membicarakan kelebihan anak ini. 

Namun saat saya bertemu dengan teman2 Indigo, mereka seperti selalu mensupportku, bahwa ini anak luar biasa.

Bahkan teman swami ada yang bilang "Abumu sama abu nya anak ini tuh lebih tua'an abu nya anak ini mbak.. wes to, tonton wae suk..." 

Saat itu aku cuman cengar cengir nggak paham aja, apa yang dia maksud.

Bahkan sesekali dia diajak ke tempat orang pinter pakai hitung2an angka, justru ketemunya

"Anak ini, besok gedenya.. kalo jadi orang bakalan jadi orang besar yang disegani banyak orang. Tapi kalau orang biasa, banyak yang cari"

Kata2 itu seperti menguap begitu saja dari otakku. Bahkan aku nggak bisa berpikir darimana dia bisa jadi orang besar, orang ngomong saja belum bisa. Karena biasanya orang2 hebat, kecilnya juga menunjukkan kehebatan segala macam. Tapi kalau dia??

Saya adalah orang yang sangat logis. Jadi tidak menerima kenyataan itu, karena pada kenyataannya kesulitan dan kerumitan yang saya hadapi. Dari yang nggak mau bicara kecuali ah-ah, uh-uh, petakilannya, sering ilangnya, sampai mainan yang hanya dijejer2 dipilah-pilah. Tidak seperti anak-anak pada umumnya.

Kembali pada tantrumnya yang luar biasa ngeri, selain energinya luar biasa besar, sorot matanya juga tajam penuh kebencian. 

Saya masih menangkap, ini adalah acting dia, seperti halnya dia menodongkan pisau ke dada atau tangannya beberapa tahun sebelumnya di saat ia usia 7-8tahun.

Namun setelah makin kesini saya baru sadar, bahwa ini adalah bentuk protes dia karena keacuhan saya pada dunia nya, yakni dunia dimensi lain.

Hingga di pagi hari, saya pasrah nangis lebay di lantai atas membayangkan "Mengapa jalan Homeschooling" yang harus kami tempuh begitu berat?

Saya ngobrol ngalor ngidul pada bu Patricia selaku founder anak2 gifted, dan menyarankan untuk ikut meditasi. Namun team saat itu bilang tidak diperbolehkan, akhirnya mundur lagi. Lagi2 founder prana sarankan untuk ikut kelas prana, tapi ternyata belum cukup umur, mundur lagi...

Meditasi itu tiap pagi dan malam, saya ikuti semua. Perlahan ketika saya mulai tenang, anak2 termasuk Hikam pun mulai tenang. 

Satu per satu, jalan seperti dibuka semua.

Termasuk ketika ada seseorang lagi yang mengatakan tentang kepekaan dia pada suara hati seseorang, sekali lagi saya percaya pada kata orang itu, namun semakin ke sini semakin kehilangan kepercayaan diri lagi bahwa dia punya pembawaan seperti ini, hingga akhirnya ia mulai meledak lagi.

Jadi sebenarnya dalam memegang kendali anak2 Gifted, adalah diri kita sendiri. "Penerimaan tanpa Syarat"

Sejak mereka kecil, saya selalu denial ketika ada orang yang mengatakan bahwa mereka berdua mempunyai bakat indigo.

Bahkan ketika Reka bercerita bahwa dirinya pernah sampai ke Gunung Jayawijaya dan Kalimantan, konsernya Didi kempot yang katanya awal mula banyak penonton, tapi perlahan mulai habis, yang ternyata bukan manusia. Kejadian itu sudah lama sekali dia cerita. Pada waktu itu dia bercerita di dalam mobil, kami masih dalam perjalanan weekend'nan. Saya pikir dia cuman nonton di youtub atau medsos.

Tapi begitu kami main ke rumah teman lamaku, yang kebetulan dia Indigo. Semua seperti dibuka lebar-lebar...

"Mbak... dirimu wes siap durung?"

Kata2 ini aku masih bertanya2? kenapa dia selalu bertanya seperti itu ketika saya mengajari anakku sendiri sepanjang tahun?

Namun hari itu saya baru paham, bahwa yang dia maksud adalah "Siap" dengan Indigonya.

Apa kata Reka malam-malam waktu di masjid Al Falah, karena saya benar2 ingin mendudukkan perkara itu se jelas2nya.

"Hikam itu bisa menembus ke cerita animasi sejarah juga lho mi.."

"Beneran??"

"Lihat aja, dia itu baca bukunya nggak sebanyak lihat youtube"

Dan saat itu juga, ketiga mbak Iffah bilang jika dia bisa menembus ruang dan waktu saya terheran2 dan sempat berkaca2.

"Njenengan itu kudu banyak2 minta maaf ke Hikam lho yu.."

"Seusia dia, bisa melewati masa sulitnya tanpa bimbingan guru itu benar2 luar biasa..."

"Itu kalau orang nggak kuat bisa stress lho yu,"

Ya Allah... berasa mau nangis kejer, tapi kudu nahan se tahan2 mungkin karena ada dua anak itu di situ.

Habis maghrib ayahnya buka hape, dilihatin foto bude nya.

"Hikam, di belakangnya ini ada siapa?"

Hanya sekilas dia lihat tanpa menatap lama.

"Kuntilanak"

Allah ya Robbi...

Rupanya swami pun makin penasaran hingga dilihatkan foto2 keluarga kakaknya yang sangat bermasalah dengan keluarga kecil kami.

Beruntun dia sebutkan ada siapa2 saja tanpa menatap lama.

Dan... benar ketika di cek temanku pun, benar apa katanya.

Begitu pulang, saya masih belum percaya seratus persen. Dia lagi asyik cerita tentang sejarah partai dari Rusia.

Entah bagaimana akhirnya hingga kami ngobrol panjang lebar dan kepikiran dengan kujungan kami ke Museum Jend. Sudirman.

"Lha ini kamu ngapain di sini"

"Ngobrol sama pak jendral sudirman"

spontan aku bengong dengan mataku mendadak berkaca-kaca. Tapi tetap sjaa harus aku tahan, karena aku tahu dia nggak suka reaksiku yang gimana2.

"Pak Jend. Sudirman lagi ngapain?"

"Lagi sholat?

"Sama siapa?"

"Sama istrinya"

Pyarrrr... spontan saya merinding pingin nangis dan menghindari dia, lalu langsung cek pada dua orang indigo.

Dan.. hasilnya sama.

Cuman satu bilang lagi membungkuk seperti rukuk, alasannya "Orang yang sudah meninggal tidak bisa sholat lagi, berdoa lagi"

Satunya lagi bilang "Itu cuman ruhnya" bilang lagi sholat.

Dalam dua perbedaan pendapat, entahlah... 

Tapi satu hal yang pasti, Hikam bisa lihat bahwa di situ ada Jend Sudirman.

Hari-hari sebelumnya, saat dia duduk di ruang tamu sendiri saya duduk di sebelahnya, memastikan "Apakah benar dia Indigo?"

"Mas Hikam, apa kamu sok lihat hantu?"

"Enggak,"

Beberapa kali saya tanya, jawabnya selalu tidak.

Sampai pada akhirnya saya teringat rubah milik Reka yang konon katanya sering ikut dia kemana-mana. Rubah putih itu dia tampilkan di foto profil WA dia.

"Apa kamu pernah lihat rubah seperti ini di rumah?"

"Iya, itu punya mbak reka"

"Pyarrrr!!!"

"Itu! dia dipojok sana"

Akhirnya dia cerita semua bagaimana binatang-binatang itu semua membentengi depan halaman rumah kami.

Dari yang berupa rubah, beruang, singa dan entah... yang jumlahnya 3-4kali lipat dua jari tangan.

Bahkan di depan pintu ada beruang tiga ekor yang tingginya di atas kepala dia.

Saat itu aku cuman pingin ketawa ngakak kebayang dia seperti bermain boneka2 yang dijajajar seperti saat dia masih balita bermain dengan boneka yang dijajar2.

Dan itu semua... di bawah kendali dia.

Allahu Akbar...

Cerita balik ke teman indigoku yang menceritakan bagaimana Hikam.

Rupanya, ada beberapa teman dari Reka ini yang mau ngajak main Reka, namun Hikamnya menolak keras.

Dan begitupula dengan mobil panther biru kami yang rupanya juga banyak yang mau ikut Hikam, tapi dia nya menolak.

Berkaitan lagi dengan laka kami yang terjadi 3x. Sekali di Sragen yang hampir menewaskan seorang anak SMU. Sekalipun lagi2 kami benar2 tidak melihat ada motor di belakang kami.

Sekali di Yogya yang menabrak itu ibu2 mabuk, jam 2malam. Dan yang terakhir, lagi-lagi di depan kantor PA Sragen yang mana karena motor ngebut dari arah belakang kami dan menabrak mobil kami. Tapi Alhamdulillahnya tidak apa-apa.

Perkembangan Amira 2-3tahun

Ledakan perolehan kosa kata terjadi dalam waktu satu tahun belakangan pasca kecelakaan di tahun 2021 Maret 28. Yang sebenarnya d...