Tuesday, March 15, 2016

Pengalaman Buruk Sekolah Reka


Waktu kehamilanku untuk anak yang ke dua menginjak usia enam bulan. Terpaksa Reka aku sekolahkan, bagiku ini memang sekolah… bukan sekedar penitipan anak. Dan aku memang berharap demikian karena meskipun terkadang keberadaan Reka di saat kehamilan ini benar-benar beban berat bagiku.

Hari pertama dia masuk –begitu keluar dari ruang pendaftaran- dia mulai enjoy melihat teman-temannya bermain ke sana kemari. Dan ia mulai lari masuk ke area sekolah karena dia tertarik banyak permainan di sana, diantaranya kursi berputar. Pertama kali dia naik ke kursi berputar, sudah dua anak perempuan yang menyambanginya dan ikut masuk dalam kursi berputar. Meski nadanyanya dia sedikit enggan, dia mulai menatap dua orang temannya dan tersenyum saat aku putar mainan itu.

Entah berapa lama dia sudah mulai berlari-larian ke sana kemari sendiri. Dengan begitu percaya dirinya dia keluar masuk ruang aktivitas di dalam. Giliran aku yang mulai bosan, karena melihat Reka yang terus dan terus berjalan tiada henti. Dan selalu tersenyum saat melihatku meski nggak selalu begitu dia nempel di pangkuanku. Terkadang, bahkan sesekali dia nempel di pangkuan guru-gurunya.

Hingga siang hari, ia berjalan tiada henti. Dan ia tetap terjaga meski teman-temannya terlelap tidur siang.
Begitu masuk hari ke dua dengan suamiku, waktu turun dari motor, dia langsung lari ke tempat mainan. Dan begitu hingga hari ke tiga.

Tapi begitu masuk minggu ke dua, dia jatuh sakit. Panas, batuk dan pilek. Saat itu aku hentikan masuk sekolah.

Kami sudah mengira kalau mesti akan terjadi sesuatu saat dia masuk kembali karena dia sudah merasa  harus berkenalan dengan situasi baru lagi, tanpa aku maupun suamiku di sisinya. Aku merasa, ini bukan lagi kawasan yang nyaman lagi untuknya.

 Saat itulah terjadi pertempuran hebat antara suamiku dan anakku. Dia nangis keras menolak untuk ditinggal. Meski gurunya memberot Reka dan secepat itu masuk, namun suamiku tetap mengikutinya –tentu dengan tangis yang begitu hebat-, hingga ia harus mencium pipinya ajak pamitan, dengan dialog meski hanya beberapa menit yang belum tentu anakku pahami.

Suamiku sengaja masuk ke dalam mengejar anakku yang waktu itu nangis kejer. Dia sengaja lakukan itu untuk sedikit memahamkan kondisi yang akan ia hadapi nantinya di sekolah, meski lagi-lagi dia belum mengerti ataupun berbicara. Kami sepakat demikian, setidaknya terbangun kontak batin antara orang tua dan anak. Itulah yang sejak awal kami tanamkan dalam keluarga kami.

Mungkin itu kebiasaan kami dalam memecahkan masalah berdua. Meski dalam perselisihan keluarga kerapkali terjadi harus terjadi dengan adu mulut. Tapi kami mengkharamkan untuk berpisah selagi masalah belum terselesaikan. Dan kami terus belajar memahami dan mengerti serta tetap menyayangi satu sama lain. Dan permasalahn saat itu, harus selesai saat itu juga. Meski kerapkali suamiku harus terlambat masuk kantor ataupun masuk kampus. Baginya keutuhan keluarga harus tetap terjaga, karena jika tidak itu akan membawanya kemanapun ia pergi.

Itulah yang hendak kami terapkan pada anak-anak kami nantinya. Meski pergulatan diantara kami berdua dengan anak sering terjadi, namun itu harus berakhir dengan senyuman. Setidaknya kata maaf, ataupun pengertian. Meski lagi-lagi dia belum bisa untuk diajak bicara.

Sudah tiga hari Reka masuk ke Tempat Penitipan Anak, -yang aku kasih istilah Sekolah- (lagi-lagi nggak ada niatku untuk menitipkan, apalagi menjauhkan anak-anakku dariku. Karena terang saja itu terlalu berat) dengan raungan tangis yang hebat untuk menolak ditinggalkan suamiku yang sekaligus hendak berangkat ke kantor.

Sejak itu kami terus berpikir tentang sesuatu yang harus kami lakukan. Bagi kami, ini nggak bisa dibiarkan terus menerus begitu. Meski gurunya bilang, anak baru, selalu akan menangis begitu.

Dari kejadian itu, aku berkaca pada pengalamanku sendiri, yang beberapa tahun trauma masuk sekolah, karena pertama, aku harus jauh dari orang tua, kedua, ada beberapa anak yang menjahiliku.

Hari keempatnya aku antarkan dia masuk sekolah, tentu saja bareng dengan suamiku yang sekalian masuk kerja.

Begitu motor mulai melaju masuk gerbang sekolah, mulai nampak kekhawatiran di rautnya. Kekhawatirannya terlalu jelas saat di depan ruang pendaftaran, hingga berakhir dengan pecah tangisnya yang terlalu dalam dan terdengar begitu menyayat hati. Ia terus menunjuk-nunjuk keluar pintu sekolah, yang kebetulan seberang jalan juga sekolah SD. Saat itu pertarungan batinku bergolak, antara harus bersikap atau menuruti permintaannya.

Aku pikir, meski sikapku lunak, aku harus punya sikap. Ini demi kebaikannya sendiri.
Hampir tiga puluh menit aku gendong dia -dengan kondisi perut yang terlihat membuncit- dan berdiri di sana melihat lalu lalang kendaraan bermotor. Kini matanya terlihat sayu, meski aku yakin batinnya terus memberontak untuk diajak masuk ke area sekolah yang menjadikannya tetap terjaga.

Saat itu aku gendong dia memasuki gerbang, dan bukan main tangisnya. Bukan tangis marah, melainkan tangis rasa sakit yang begitu dalam. Dan ia terus menunjuk-nunjuk keluar. Ia tak memberontak, melainkan tangisan yang menyedihkan. Apalagi melihat para wali murid datang dan pergi mengantarkan anak-anaknya.
Aku pangku dia dalam dekapan, duduk di depan ruang pendaftaran. Meski beberapa kali ia masih terlihat menangis, namun aku biarkan dia melihatnya. Aku ingin, ia merasa terbiasa, dan nggak akan terjadi sesuatu yang menyakitkan jika para wali itu datang dan pergi. Kurang lebih seperempat jam aku memangkunya dan mendengarkan tangisnya. Tapi perasaanku mengatakan itu terlalu buruk, jika terus ku perlihatkan orang tua yang datang dan pergi mengantarkan anak-anaknya.

Saat itu beberapa anak mulai terlihat berlarian main ke sana kemari. Saat itupula aku mulai ajak dialog untuk sekedar ambilkan susu untuknya, yang kebetulan tas itu ku letakkan di deretan kursi tunggu wali murid di pinggir pintu masuk halaman bermain. Dan iapun menurutiku berdiri, meski tetap menangis.
Perlahan aku ajak dia masuki halaman sekolah. Tapi rupanya dia belum mau turun, hingga rutinitas senam pagi dia masih terlihat sesekali menangis. Entah apa yang terlintas dalam pikirannya hingga sesekali ia masih terlihat menangis dan diam melihat teman-temannya ikut senam.

Awalnya dia mau turun dari kursi tunggu wali murid, yang sesekali masih memegang bajuku. Tapi sesekali ia mau beranjak meski satu dua langkah dan balik lagi memegang bajuku dengan sedikit senyum-senyum.
Entah kejadian itu berlangsung berapa lama, namun nampaknya ia mulai terlihat menikmati suasana yang mulai ramai teman-temannya yang bertebaran main kemana-mana.  

Hari kedua pun berakhir sama, ia masih terlihat menangis waktu suamiku menghentikan motornya di depan halaman sekolah, tapi itu nggak berlangsung lama karena tangisnya pun segera berhenti. Selang berapa lama aku ambilkan sarapannya dan mulai ku suapi. Satu dua sendok dia masih mau menelannya, namun begitu ke tiga kalinya dia minta turun dari kursinya dan mulai lari berjalan tiga hingga empat langkah dan balik lagi ke arahku sambil tertawa cerah. Sejak itu, aku merasa dia kembali akrab dengan situasi tersebut.

Meski siangnya (waktu makan dimulai) aku tinggal pergi keluar sebentar untuk beli pampers, ternyata setelah aku kembali dia masih nangis kejer dalam pangkuan gurunya.

Ternyata malam harinya dia demam lagi, hingga pagi hari kami harus datangi bidan terdekat. Tak disangka ternyata dia begitu takutnya waktu kami duduk di ruang tunggu dia nggak mau turun dari gendonganku. Dari rautnya, terlihat jelas ketakutan kalau-kalau akan terjadi sesuatu yang akan menimpa dirinya, hingga kami masuk di ruang bidan, ia tetap nggak mau turun. Padahal setahuku, ia selalu akrab di tempat-tempat umum.


Sejak itu aku mulai lebih berhati-hati mengenalkan suasana asing.
Lagi-lagi dia jatuh sakit demam selama dua hari, terpaksa nggak ku masukkan sekolah.  Tapi tak disangka-sangka, ternyata begitu hari senin tiba aku masukkan sekolah lagi dan awalnya memang nangis kejer waktu ditinggal ayahnya, namun ternyata kata gurunya itu nggak berlangsung lama. Dan ia-pun mau bermain seperti biasanya. Hari keduanya, waktu ditinggal suamiku  dia memang nangis tapi selang berapa lama waktu diajak masuk oleh gurunya ia mulai diam.

Menurutku itu memang sedikit terasa kejam baginya, tapi itu perlu aku lakukan demi sosialisasinya dengan orang-orang, tak peduli siapapun, tentu saja dengan pengawasan tenaga pengajar alias guru yang selalu mengarahkan dan menjaganya selama di sana. Karena kenyataannya ia sendiri di rumah. Adapun teman itu kalau siang hari, dan aku nggak bisa selalu menemaninya kemanapun dia pergi karena alasan kehamilan yang membuat tenagaku harus dijaga ekstra.

Pagi hari waktu dia sudah ada dalam gendongan suamiku, dia masih menunjuk-nunjuk aku seolah mengisyaratkan “Ayo bu, berangkat” namun waktu di depan gerbang aku hanya diam berdiri, dia mulai diam saja memandangku dengan tatapan yang sedikit kecewa, seolah mengatakan “Kenapa ibu tidak ikut,” tatapannya sedikit sedih dan ia pun mau melambaikan dengan tangannya yang mungil waktu suamiku bilang “Ayo dada sama ummi”

Dari pengalaman sehari-hari,yang aku rasakan adalah mendidik anak dengan hati itu jauh lebih baik, ketimbang mendidik dengan rutinitas melulu yang aku pikir membuat hubungan kami (orang tua dan anak renggang).

Kami memang sedikit agak protek terhadap anak. Pertama, aku menghindari omongan-omongan orang yang sering membanding-bandingkan Reka dengan teman sebayanya, yang bagiku itu kurang baik untuk perkembangan mental dia. Bagiku membanding-bandingkan kemampuan satu anak dengan anak yang lain itu nggak ada gunanya, kecuali merugikan rasa kepercayaan diri pada si anak itu sendiri. Kedua, aku hindarkan ia dari pergaulan anak yang sedikit agresif (dalam bahasa kasarnya nakal).




 dan dengan orang asing pun ia selalu menyapanya dengan senyuman.

No comments:

Perkembangan Amira 2-3tahun

Ledakan perolehan kosa kata terjadi dalam waktu satu tahun belakangan pasca kecelakaan di tahun 2021 Maret 28. Yang sebenarnya d...