Waktu kehamilanku untuk anak yang
ke dua menginjak usia enam bulan. Terpaksa Reka aku sekolahkan, bagiku ini
memang sekolah… bukan sekedar penitipan anak. Dan aku memang berharap demikian
karena meskipun terkadang keberadaan Reka di saat kehamilan ini benar-benar
beban berat bagiku.
Hari pertama dia masuk –begitu
keluar dari ruang pendaftaran- dia mulai enjoy melihat teman-temannya bermain
ke sana kemari. Dan ia mulai lari masuk ke area sekolah karena dia tertarik
banyak permainan di sana, diantaranya kursi berputar. Pertama kali dia naik ke
kursi berputar, sudah dua anak perempuan yang menyambanginya dan ikut masuk
dalam kursi berputar. Meski nadanyanya dia sedikit enggan, dia mulai menatap
dua orang temannya dan tersenyum saat aku putar mainan itu.
Entah berapa lama dia sudah mulai
berlari-larian ke sana kemari sendiri. Dengan begitu percaya dirinya dia keluar
masuk ruang aktivitas di dalam. Giliran aku yang mulai bosan, karena melihat
Reka yang terus dan terus berjalan tiada henti. Dan selalu tersenyum saat
melihatku meski nggak selalu begitu dia nempel di pangkuanku. Terkadang, bahkan
sesekali dia nempel di pangkuan guru-gurunya.
Hingga siang hari, ia berjalan
tiada henti. Dan ia tetap terjaga meski teman-temannya terlelap tidur siang.
Begitu masuk hari ke dua dengan
suamiku, waktu turun dari motor, dia langsung lari ke tempat mainan. Dan begitu
hingga hari ke tiga.
Tapi begitu masuk minggu ke dua,
dia jatuh sakit. Panas, batuk dan pilek. Saat itu aku hentikan masuk sekolah.
Kami sudah mengira kalau mesti
akan terjadi sesuatu saat dia masuk kembali karena dia sudah merasa harus berkenalan dengan situasi baru lagi,
tanpa aku maupun suamiku di sisinya. Aku merasa, ini bukan lagi kawasan yang nyaman
lagi untuknya.
Saat itulah terjadi pertempuran hebat antara
suamiku dan anakku. Dia nangis keras menolak untuk ditinggal. Meski gurunya
memberot Reka dan secepat itu masuk, namun suamiku tetap mengikutinya –tentu
dengan tangis yang begitu hebat-, hingga ia harus mencium pipinya ajak pamitan,
dengan dialog meski hanya beberapa menit yang belum tentu anakku pahami.
Suamiku sengaja masuk ke dalam
mengejar anakku yang waktu itu nangis kejer. Dia sengaja lakukan itu
untuk sedikit memahamkan kondisi yang akan ia hadapi nantinya di sekolah, meski
lagi-lagi dia belum mengerti ataupun berbicara. Kami sepakat demikian, setidaknya
terbangun kontak batin antara orang tua dan anak. Itulah yang sejak awal kami
tanamkan dalam keluarga kami.
Mungkin itu kebiasaan kami dalam
memecahkan masalah berdua. Meski dalam perselisihan keluarga kerapkali terjadi
harus terjadi dengan adu mulut. Tapi kami mengkharamkan untuk berpisah selagi
masalah belum terselesaikan. Dan kami terus belajar memahami dan mengerti serta
tetap menyayangi satu sama lain. Dan permasalahn saat itu, harus selesai saat
itu juga. Meski kerapkali suamiku harus terlambat masuk kantor ataupun masuk
kampus. Baginya keutuhan keluarga harus tetap terjaga, karena jika tidak itu
akan membawanya kemanapun ia pergi.
Itulah yang hendak kami terapkan
pada anak-anak kami nantinya. Meski pergulatan diantara kami berdua dengan anak
sering terjadi, namun itu harus berakhir dengan senyuman. Setidaknya kata maaf,
ataupun pengertian. Meski lagi-lagi dia belum bisa untuk diajak bicara.
Sudah tiga hari Reka masuk ke
Tempat Penitipan Anak, -yang aku kasih istilah Sekolah- (lagi-lagi nggak ada
niatku untuk menitipkan, apalagi menjauhkan anak-anakku dariku. Karena terang
saja itu terlalu berat) dengan raungan tangis yang hebat untuk menolak
ditinggalkan suamiku yang sekaligus hendak berangkat ke kantor.
Sejak itu kami terus berpikir
tentang sesuatu yang harus kami lakukan. Bagi kami, ini nggak bisa dibiarkan
terus menerus begitu. Meski gurunya bilang, anak baru, selalu akan menangis
begitu.
Dari kejadian itu, aku berkaca
pada pengalamanku sendiri, yang beberapa tahun trauma masuk sekolah, karena pertama,
aku harus jauh dari orang tua, kedua, ada beberapa anak yang menjahiliku.
Hari keempatnya aku antarkan dia
masuk sekolah, tentu saja bareng dengan suamiku yang sekalian masuk kerja.
Begitu motor mulai melaju masuk
gerbang sekolah, mulai nampak kekhawatiran di rautnya. Kekhawatirannya terlalu jelas
saat di depan ruang pendaftaran, hingga berakhir dengan pecah tangisnya yang terlalu
dalam dan terdengar begitu menyayat hati. Ia terus menunjuk-nunjuk keluar pintu
sekolah, yang kebetulan seberang jalan juga sekolah SD. Saat itu pertarungan
batinku bergolak, antara harus bersikap atau menuruti permintaannya.
Aku pikir, meski sikapku lunak,
aku harus punya sikap. Ini demi kebaikannya sendiri.
Hampir tiga puluh menit aku
gendong dia -dengan kondisi perut yang terlihat membuncit- dan berdiri di sana
melihat lalu lalang kendaraan bermotor. Kini matanya terlihat sayu, meski aku
yakin batinnya terus memberontak untuk diajak masuk ke area sekolah yang
menjadikannya tetap terjaga.
Saat itu aku gendong dia memasuki
gerbang, dan bukan main tangisnya. Bukan tangis marah, melainkan tangis rasa
sakit yang begitu dalam. Dan ia terus menunjuk-nunjuk keluar. Ia tak
memberontak, melainkan tangisan yang menyedihkan. Apalagi melihat para wali
murid datang dan pergi mengantarkan anak-anaknya.
Aku pangku dia dalam dekapan,
duduk di depan ruang pendaftaran. Meski beberapa kali ia masih terlihat
menangis, namun aku biarkan dia melihatnya. Aku ingin, ia merasa terbiasa, dan
nggak akan terjadi sesuatu yang menyakitkan jika para wali itu datang dan
pergi. Kurang lebih seperempat jam aku memangkunya dan mendengarkan tangisnya.
Tapi perasaanku mengatakan itu terlalu buruk, jika terus ku perlihatkan orang
tua yang datang dan pergi mengantarkan anak-anaknya.
Saat itu beberapa anak mulai
terlihat berlarian main ke sana kemari. Saat itupula aku mulai ajak dialog
untuk sekedar ambilkan susu untuknya, yang kebetulan tas itu ku letakkan di
deretan kursi tunggu wali murid di pinggir pintu masuk halaman bermain. Dan
iapun menurutiku berdiri, meski tetap menangis.
Perlahan aku ajak dia masuki
halaman sekolah. Tapi rupanya dia belum mau turun, hingga rutinitas senam pagi
dia masih terlihat sesekali menangis. Entah apa yang terlintas dalam pikirannya
hingga sesekali ia masih terlihat menangis dan diam melihat teman-temannya ikut
senam.
Awalnya dia mau turun dari kursi
tunggu wali murid, yang sesekali masih memegang bajuku. Tapi sesekali ia mau
beranjak meski satu dua langkah dan balik lagi memegang bajuku dengan sedikit
senyum-senyum.
Entah kejadian itu berlangsung
berapa lama, namun nampaknya ia mulai terlihat menikmati suasana yang mulai
ramai teman-temannya yang bertebaran main kemana-mana.
Hari kedua pun berakhir sama, ia
masih terlihat menangis waktu suamiku menghentikan motornya di depan halaman
sekolah, tapi itu nggak berlangsung lama karena tangisnya pun segera berhenti. Selang
berapa lama aku ambilkan sarapannya dan mulai ku suapi. Satu dua sendok dia
masih mau menelannya, namun begitu ke tiga kalinya dia minta turun dari
kursinya dan mulai lari berjalan tiga hingga empat langkah dan balik lagi ke
arahku sambil tertawa cerah. Sejak itu, aku merasa dia kembali akrab dengan
situasi tersebut.
Meski siangnya (waktu makan
dimulai) aku tinggal pergi keluar sebentar untuk beli pampers, ternyata setelah
aku kembali dia masih nangis kejer dalam pangkuan gurunya.
Ternyata malam harinya dia demam
lagi, hingga pagi hari kami harus datangi bidan terdekat. Tak disangka ternyata
dia begitu takutnya waktu kami duduk di ruang tunggu dia nggak mau turun dari
gendonganku. Dari rautnya, terlihat jelas ketakutan kalau-kalau akan terjadi
sesuatu yang akan menimpa dirinya, hingga kami masuk di ruang bidan, ia tetap
nggak mau turun. Padahal setahuku, ia selalu akrab di tempat-tempat umum.
dan dengan orang asing pun ia selalu menyapanya dengan senyuman.
Sejak itu aku mulai lebih berhati-hati mengenalkan suasana asing.
Lagi-lagi dia jatuh sakit demam selama dua hari, terpaksa nggak ku masukkan sekolah. Tapi tak disangka-sangka, ternyata begitu hari senin tiba aku masukkan sekolah lagi dan awalnya memang nangis kejer waktu ditinggal ayahnya, namun ternyata kata gurunya itu nggak berlangsung lama. Dan ia-pun mau bermain seperti biasanya. Hari keduanya, waktu ditinggal suamiku dia memang nangis tapi selang berapa lama waktu diajak masuk oleh gurunya ia mulai diam.
Menurutku itu memang sedikit terasa kejam baginya, tapi itu perlu aku lakukan demi sosialisasinya dengan orang-orang, tak peduli siapapun, tentu saja dengan pengawasan tenaga pengajar alias guru yang selalu mengarahkan dan menjaganya selama di sana. Karena kenyataannya ia sendiri di rumah. Adapun teman itu kalau siang hari, dan aku nggak bisa selalu menemaninya kemanapun dia pergi karena alasan kehamilan yang membuat tenagaku harus dijaga ekstra.
Pagi hari waktu dia sudah ada dalam gendongan suamiku, dia masih menunjuk-nunjuk aku seolah mengisyaratkan “Ayo bu, berangkat” namun waktu di depan gerbang aku hanya diam berdiri, dia mulai diam saja memandangku dengan tatapan yang sedikit kecewa, seolah mengatakan “Kenapa ibu tidak ikut,” tatapannya sedikit sedih dan ia pun mau melambaikan dengan tangannya yang mungil waktu suamiku bilang “Ayo dada sama ummi”
Dari pengalaman sehari-hari,yang aku rasakan adalah mendidik anak dengan hati itu jauh lebih baik, ketimbang mendidik dengan rutinitas melulu yang aku pikir membuat hubungan kami (orang tua dan anak renggang).
Kami memang sedikit agak protek terhadap anak. Pertama, aku menghindari omongan-omongan orang yang sering membanding-bandingkan Reka dengan teman sebayanya, yang bagiku itu kurang baik untuk perkembangan mental dia. Bagiku membanding-bandingkan kemampuan satu anak dengan anak yang lain itu nggak ada gunanya, kecuali merugikan rasa kepercayaan diri pada si anak itu sendiri. Kedua, aku hindarkan ia dari pergaulan anak yang sedikit agresif (dalam bahasa kasarnya nakal).
dan dengan orang asing pun ia selalu menyapanya dengan senyuman.
No comments:
Post a Comment