Ia lahir dengan bobot 28 gram dan
panjangnya 48cm. Mungkin itu ukuran cukup dibanding bayi-bayi yang lainnya.
Tapi ada satu hal yang menarik dan ajaib bagiku sejak kelahirannya.
Waktu dia keluar dari rahimku,
dia nangis hanya sekali. Setelah itu tak terdengar lagi suara tangisnya. Entah
itu isyarat apa aku kurang begitu paham. Hingga ketiga harinya dia nangis
dengan suara yang hanya terisak-isak saja, tanpa mengeluarkan suara dengan
bibir yang tergetar. Tentu saja ini membuat keluargaku khawatir meski mereka
nggak mengatakannya padaku, namun dari desas-desus aku paham kalau mereka
mengkhawatirkan dia.
Sore itu suamiku pamit untuk
berangkat kuliah ke Yogya, awalnya aku berat. Namun kupikir-pikir dan dengan
penguatan spiritnya terhadapku, aku pun melepaskannya berangkat.
Namun malam harinya ia (si
Mungil) demam tinggi tanpa mengeluarkan suara tangis sedikitpun meski bibirnya
terus tergetar isyaratkan tangis. Bingungnya setengah mati aku waktu itu, namun
aku redamkan sendiri. Sementara terlihat mata ibu bengkak menangis duduk di
depan bersama kakakku. Aku masih redamkan dan berusaha tenangkan sikapku, meski
pikiranku kacau kemana-mana.
Saat itu juga aku telpon suamiku
yang sedang dalam perjalanan menuju Yogya. Padahal hujan deras bukan main yang
disertai petir dan halilintar yang terus-menerus menggelepar.
Ketika ku telpon, suamiku dalam
perjalanan menuju tempat kuliah sampai di Weleri (biangan masjid dan pasar).
Suamiku ke Jogja berboncengan dengan mas Yusuf dengan sepeda ms. Yusuf… dia
putuskan untuk kembali ke rumah meski kondisi hujan lebat diserati etir
halilintar….
Begitu suamiku tiba di rumah, anehnya
selang berapa menit demamnya reda...
Beda halnya dengan mertuaku (ibu)
yang waktu menungguku tidur, ia justru mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad waktu
pukul setengah satu malam. Entah isyarat apa, namun yang jelas beberapa minggu
kemudian suamiku ketrima sebagai pegawai negri Sipil di Pengadilan Agama yang
dibawah atap Mahkamah Agung. Bukan main aku kagetnya menerima berita itu, yang
kebetulan ada sebuah SMS masuk ke handphon suamiku malam hari. Awalnya aku
nggak percaya, karena hanya ucapan selamat. Malam itu juga aku suruh cek di
situs MA oleh keponakanku yang kebetulan bekerja di Warnet di Jakarta.
Kurang lebih baru di usia 8-9
bulan Reka baru bisa mengangis dengan suara keras. Saat itulah perasaanku lega,
meski begitu omongan orang terus mengalir, “Bayi kok ga bisa nangis… dsb”
Hingga baru berusia satu tahun
aku mulai lega karena telah pisah dengan mertua. Menurutku omongan mertua
banding-bandingkan cucunya dengan cucu kesayangannya itu wajar, dan itu terus
membuatku terus tertekan. Karena tiap kali Posyandu, kenaikan berat badannya
paling hanya satu sampai dua ons. Dengan segudang masalah, apalagi suamiku yang
menurut mereka (kalau belum PNS) nggak dianggap kerja beneran. Bukan main beban
yang ku tanggung. Meski begitu suamiku termasuk orang yang sabar bukan kepalang
menghadapi pandangan kolot kedua orang tuanya yang selalu meminta kehendaknya
terus dituruti, dengan dalih demi masa depan keluarga kami.
Kami pindah ke kontrakan yang
kurang lebih satu jam perjalanan dari rumah mertuaku, itu membuatku lega.
Apalagi suamiku yang sudah berani ambil sikap untuk protek dari segala campur
tangan kelurganya terhadap keluarga kami. Itu membuatku lega. Entah berapa
tambah berat badan Reka satu bulan kemudian, namun rasanya begitu berat
dibanding kepergian kami dari rumah mertua yang (meskipun kebutuhan materi
semua terpenuhi) tapi seperti balita kurang gizi benar.
Dari situ dapat ku tarik
kesimpulan, bahwa ternyata ketenangan serta kenyamanan seorang ibu sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan balita. Meski masuk bulan ke empat belas di
usia Reka, aku mulai menyapihnya. Kurang lebih hanya satu minggu dia rewel
minta nenen (terutama hendak tidur), tapi di hari berikutnya ia mau bermain
seperti biasanya. Dan di bulan berikutnya, ia baru mau mulai minum susu formula
secara rutin. Bahkan di bulan berikutnya susu setengah kilo habis dalam waktu
hanya empat hari.
Semula kami khawatir karena
kemudian selain pipisnya sering sekali, (kadang sehari hampir nyampai 20 potong
celana) BABnya jadi nggak begitu lancar karena sulit makan.
Pelan namun pasti, ia menunjukkan
pertumbuhan yang sangat signifikan. Diantaranya dia mulai bisa berjalan di
usianya 13 bulan.
Aku pikir, pertumbuhannya sedikit
terhambat karena seringnya kami bepergian dengan kendaraan bermotor model Honda
Astrea yang pir penyangganya nggak begitu kuat seperti Honda-honda keluaran
baru.
Diantaranya waktu usia enam
bulan, kami pernah mengajaknya pergi ke Yogya yang kurang lebih waktu normal
ditempuh dalam waktu 2 jam. Namun karena membawa dia, jadi waktu terulur hingga
empat jam. Itu dalam rangka ikut suamiku yang kuliah setiap sabtu minggu di
Pasca UII.
Menurutku ia bayi yang ramah,
karena begitu tiba di kontrakan temanku yang kebetulan memang rumahnya safe
dengan kondisi bayi. Ia langsung akrab dengan teman-temanku dan menyapanya
dengan senyuman.
Begitu pula waktu masuk usia 10
bulan. Ia ku ajak kembali ke Yogya dengan sepeda motor. Kali ini dengan sepeda
motor iparku, yang masih baru dengan jok yang jauh lebar dan tinggi ketimbang
motor kami sendiri.
Meski begitu, fisiknya aku bilang
kuat. Karena sejak usia enam bulan yang berturut-turut pulang ke Pekalongan
yang kurang lebih memakan waktu 7-8 Jam dan Yogya yang kurang lebih memakan
waktu 2 jam jika dengan kereta dan motor bisa sampai 4-5 jam, sampai usia 15
bulan kurang lebih 4 kali ke Pekalongan dan hampir enam kali ke Yogya. Namun
kondisinya tetap fit, meski akibatnya badannya nggak bisa montok seperti
bayi-bayi lainnya. Meskipun bobotnya bertambah dan tingginya bertambah, namun
tetap saja terlihat langsing.
No comments:
Post a Comment