Tuesday, March 15, 2016

Ibu Adalah Arsiteknya Anak


Suatu hari aku pernah membaca sebuah artikel dalam milis FLP, entah siapa penulisnya aku lupa.
Yang pada intinya mengatakan kalau ibu adalah seorang arsitek anak. Aku setuju sekali dengan pendapat itu  
Sejak kehamilanku yang pertama aku niatkan keluar dari pekerjaanku sebagai Editor Junior di sebuah Penerbitan Yogya untuk mengikuti pertumbuhan anakku sungguh. Meski sebenarnya itu bukanlah hal yang ringan, melepas sebuah karier yang baru aku tempuh. Apalagi beberapa teman menawarkanku sebuah pekerjaan yang sama di Jakarta. Itu adalah Pertarungan yang hebat antara keinginan sebuah ego dan kenyataan yang harus aku tanggung sebagai calon seorang ibu.
Awalnya kemarahan itu aku limpahkan pada suamiku yang tak jelas apa masalahnya. “Pokoknya aku ingin marah!” batinku berontak keras.
Pelan namun pasti, dengan kesabaran suamiku yang amat sangat, akhirnya aku sadar dan memutuskanku untuk tidak kembali bekerja. “Terserah mau nulis atau apa, tapi yang jelas tetap dikerjakan di rumah”.
Satu dua bulan berlangsung, bukan main BTnya. Hari demi hari dengan kejemuan dan tanpa aktivitas lain kecuali menunggu suami pulang yang tak tentu jam kerjanya. Waktu itu dia masih bekerja di sebuah LSM dengan proyek kecil-kecilan dan harus berjuang mati-matian. Sementara ia sendiri masih disokong oleh orang tuanya setiap bulan, meski kalau ketahuan, aku pasti marah-marah. Karena terang saja itu bukanlah jalan yang baik bagi kami sebagai keluarga yang baru mulai merangkak dan tersungkur. Biaya kehidupan kami selama di Yogya mengandalkan gaji suamiku yang ia tabung waktu bekerja di LSM Bekasi, yang kebetulan dengan proyek besar. Jadi sebenarnya kalaupun kami nggak bekerja, satu hingga dua tahun pun kami masih sanggup hidup dengan gaya sederhana (dalam arti nggak terlalu mepet) dari gaji itu.
Namun rupanya aku ini termasuk orang yang terlalu cemas karena dengan kondisi seperti itupun aku masih nggak bisa tenang. Maklum, biaya hidup hanya ditopang oleh suami, (tanpa aku bekerja). Pikiranpun tentu tak pernah tenang.
Balik ke permasalahan awal. Rasanya sebuah artikel yang aku baca waktu duduk di bangku kuliah terasa begitu melekat. Bagaimana kehidupan perempuan di Jepang waktu itu. Selama ia belum menikah ia akan bekerja. Baru menjelang memiliki momongan ia akan berhenti total dari pekerjaannya dan mengurus serta mendidik anaknya. Inilah awal keberhasilan negara kecil namun cepat perkembangannya itu.
Itulah inti dari artikel itu. Bahwa seorang ibu adalah modal utama keberhasilan sebuah negara yang bermula dari mendidik sungguh-sungguh anak-anaknya. Dan menjadikan generasi yang unggul dan menciptakan sebuah perubahan yang signifikan.  
Berangkat dari itulah, prinsipku tertancap. Bahwa seorang ibu, selama suami masih sanggup menyokong keluarganya ia harus kembali ke rumah dan mengurusi kekokohan dalam rumah tangga itu sendiri.
Meski pada mulanya suamiku nadanya menolak pendapatku, karena dorongan hebat keluarganya yang menyuruhku untuk mendaftarkan diri sebagai seorang guru mengabdi dan kemudian menjadi PNS. Namun dari sekian perdebatan yang memakan waktu cukup panjang dan alot, akhirnya suamiku memahami apa yang aku maksudkan dan ia mengiyakan.
Rasanya aneh, meski sebenarnya pikiranku menolak mentah-mentah untuk menjadi ibu rumah tangga tulen, namun batinku berontak keras dan memaksaku untuk tetap tinggal di rumah dan mengurus kekokohan rumah itu sendiri, termasuk mendidik anak-anak. Dan kebiasanku, jika sudah demikian selalu aku benturkan dengan pendapat orang lain. Dalam hal ini suamiku. Terjadilah pertikaian hebat. Dan prinsip kami, masalah harus selesai saat itu juga, meski besok akan diulang lagi perdebatan, namun hari itu juga harus diakhiri dengan senyuman.
SEJARAH PENAMAAN REKA
Meski jauh sebelum aku menikah sudah kebayang akan mengisi anakku nantinya semasa dalam kandungan dengan segudang bacaan, music dan kebiasaan-kebiasaan positif. Namun begitu masuk usia kehamilan sulitnya bukan main. Tapi ada satu keinginan kuat bagiku saat itu, yakni senang bukan main dengan tafsiran-tafsiran Al Qur’an tentang jagad raya. Bahkan meski perjalanan penulisan novelku tentang Luch dan Teka-teki Jagad Raya tersendat-sendat (hingga sekarang) karena alasan kecemasan dan lain sebagainya. Namun itu tak mejadikan imajinasiku tentang seorang bocah kecil -yang cerdas dengan rambut pirang yang bijak dan ramah itu mampu menguak rahasia Jagad Raya yang tersembunyi dalam ayat-ayat Al Qur’an- lenyap .
Maka dari itulah aku gabungkan pendapat nama dari suamiku dan aku, jadilah sebuah nama EUREKA LUCH NIRWANA yang artinya Aku Menemukan Bahasa Surga. Yang aku maknakan sebagai penemuan sebuah teka-teki dalam AlQur’an tentang penjelasan Jagad Raya. Termasuk logika bagaimana terjadinya hari kiamat yang terjelaskan dengan sainsnya AL Qur’an.
LUAR BIASA…!!!
CALON ANAK YANG KEDUA
Di usia enam bulan kehamilanku ini. Entah bagaimana aku senang mendengarkan berita-berita politik, yang aku anggap itu hanya sebagai having fun aja. Dan saat ini juga aku menulis sebuah novel dengan tema Komparasi politik Indonesia yang terbagi menjadi 3, yakni; Islam, Nasionalis dan Komunis.
Dari situ aku berharap ia menjadi seorang Tata Negarawan(bukan seorang politikus ) yang handal, yang bersumber dari Al Qur’an juga. Tapi entah sampai sekarang aku belum menemukan satu madzhab yang cocok, termasuk pandangan dari Syaikh Panji Gumilang dan Soekarno.
Mungkin kedengarannya jauh jamannya dua orang itu, namun entah bagaimana fillingku mengatakan bahwa Panji Gumilang adalah sosok negarawan Muslim, sementara Soekarno adalah negarawan berideologikan Nasionalis, meski dalam sejarahnya dia ingin menggabungkan Komunis, Islam dan Nasionalis.
Lagi-lagi seperti saat aku hamil Reka, bahwa bocah kecil itu selalu hidup dalam imajinasiku. Namun kali ini, ia hidup dalam angan-anganku. Bukan seorang bocah, melainkan cucu seorang Soekarno, dia adalah seorang mahasiswa Pasca yang tengah tergila-gila dengan seorang gadis keturunan PKI. Di situ logikaku yang bermain, bukan lagi imajinasi seperti jamannya aku menggarap novel dengan tokoh anak-anak.
He… he… yang hidup dalam pikiranku adalah pemerannya seorang Gu Junpyo, pemeran utama dalam film Boys Before Flowers drama Korea, yang mana pemerannya cantik dan ganteng semua.
Wah! Ga kebayang, seorang negarawan dengan fisik seperti Gu Junpyo. Hmmm…. Hebat!! Pasti banyak lawan ataupun kawan yang takhluk dengannya, bukan hanya karena fisiknya, melainkan kepiawaiannya sebagai seorang negarawan. Ya! Seperti Soekarno, dan aku nggak berharap dia kan menjadi seorang Playboy kakap seperti beliau.
Hebat!! Di usianya yang masih belasan, dia (Soekarno) sudah mampu memegang kendali negara yang begitu luas, sementara Gu Junpyo sudah disuruh pegang kendali perusahaan kelas Internasional, meski itu warisan dari kakeknya.
Aku berharap anakku yang ada dalam kandungan ini adalah seorang anak lelaki (namun jikapun perempuan nggak masalah).
Ahh…! Akhirnya sebuah impian. Ya… semoga saja bukan sekedar impian. Karena nyatanya Allah benar-benar mengkaruniakan seorang anak seperti tokoh Luch dalam imajinasi Novelku yang tertunda itu.
Entah bagaimana jluntrungnya, saat ini juga aku seneng banget dengar instrument music seperti milik Suzzanne Cianni dan Secret Garden serta sembarang music dengan instrument Biola.
Harapanku, selain seorang negarawan dia juga seorang seniman. Yang dalam hal ini aku katakan untuk melunakkan pikirannya sebagai seorang Negarawan. Dus, jadi dia bukanlah seseorang yang kaku apalagi kolot, namun dia juga seorang yang memiliki darah seni untuk mengasah batin dan perasaannya sebagai seorang manusia ciptaan Allah.
@@@
Ini adalah malam Kamis, dimana badanku seraya ingin rubuh atau menghempas di atas kasur busa yang empuk dan lembut, atau… setidaknya tidur di atas kasur gulung selama semalam penuh tanpa ada yang ganggu. Tapi rasanya itu mustahil.
Anak-anakku seolah berkata, sedikit lagi, sebentar lagi… Cuma sedikit! Aku ganggu tidur ummi. Sementara waktu terus berlalu dan berlalu tanpa aku tahu bagaimana harus aku katakan kalau sebenarnya aku ini amat sangat capek dan ingin tidur.
Hikam Akbar Maulana dari nama yang aku inginkan Granada Ilham Akbar, tapi akhirnya harus aku tepis ambisiku dan persilahkan ayahnya untuk memberi nama. Sementara kakaknya Eureka Luch Nirwana, itu adalah penamaanku 80%.
Hikam, bukan main serunya hari-hari yang kamu lalui bersama kakak dan ummimu yang terlalu lelah untuk tetap terjaga dan menulis…
Beda sekali hari-hari yang Kakakmu lalui. Begitu tenang, damai dan penuh kompromi.
Apa yang ingin kau katakan, katakanlah Nak… meski ummi capek, dan ayahmu yang akhir-akhir ini selalu ngantukan karena terlalu capek memburu rupiah-rupiah yang entah berhamburan di gedung berpilar seram –yang ummi bilang itu adalah tempat para tikus dan kucing bermain sampah-sampah duniawi-. Bagaimanapun, kita semua nggak bisa mengelak, karena dari situlah kita semua bisa makan dan tidur beratapkan genting.
Malam ini sepertinya kalian lelah Nak, setelah seharian seru dengan teriakan dan jungkir balik.
Semoga besok pagi penuh inspirasi,,

No comments:

Perkembangan Amira 2-3tahun

Ledakan perolehan kosa kata terjadi dalam waktu satu tahun belakangan pasca kecelakaan di tahun 2021 Maret 28. Yang sebenarnya d...