Dulu waktu masih umur sekitar 4th, paling anti aku ikut acara resmi begini. Karena eksplorasi dia yg tinggi, jadikan kita sering kalang kabut ngatasi gerakan dia yang cepat meraih segala sesuatunya yg ingin dia raih, atau bahkan menyenggok/menginjak segala sesuatu. Termasuk panggung beserta perangkat sound sistem.
Jadi hampir nggak pernah aku mendatangi undangan di gedung2 begitu. Bahkan sampai sekarang akhirnya nggak pernah ikut acara ibu2 di kantor swami.
Kemarin, waktu dapat undangan peresmian pembukaan Festival Dalang Muda se Jawa Tengah sempat khawatir. Makanya begitu kita masuk di area TBS Hikam yang mulai bisa diajak ngomong, sudah kami janji, "kalau Hikam ribut, ntar pulang" begitu kami ulang2 sampai mobil berhenti dan dia sudah nggak sabar keluar mau lari.
"Tunggu ayah selesai," kataku dg suara menekan khawatir cepat kabur
"Ingat lho ya... nggak boleh ribut" kataku lagi seakan ada niat mematri itu dalam pikirannya. Khawatir lost control lagi.
"Tunggu ayah selesai," kataku dg suara menekan khawatir cepat kabur
"Ingat lho ya... nggak boleh ribut" kataku lagi seakan ada niat mematri itu dalam pikirannya. Khawatir lost control lagi.
Begitu masuk, dia tunjuk2 mau duduk di belakang seperangkat gamelan di panggung.
"Ampun, mboten pareng" kataku lagi.
Dia mulai gigit2 kuku.
(Aku melihat ini reaksi penekanan diri sendiri dan keinginan yg meluap2 yg sebenarnya jika ku biarkan pasti bakal kalap. Jadi timbullah rasa cemas) Berulangkali swami turunkan jari2nya, tetap saja gigiti lagi. Begitu terus menerus.
"Ampun, mboten pareng" kataku lagi.
Dia mulai gigit2 kuku.
(Aku melihat ini reaksi penekanan diri sendiri dan keinginan yg meluap2 yg sebenarnya jika ku biarkan pasti bakal kalap. Jadi timbullah rasa cemas) Berulangkali swami turunkan jari2nya, tetap saja gigiti lagi. Begitu terus menerus.
Acara begitu berlangsung dan ia pun hanya bergeliyat-geliyut di kursinya, yg diapit bapak2 dan ibu2 dg pakaian resmi begitu. Aku bahkan nyaris nggak peduli pakai sandal gunung biar cepat bisa bergerak begitu dia kabur.
Bahkan istri gurunya Hikam, yg sudah dibilang mbah2 gitu, sempat isyaratkan suruh diam kepadaku.
"ah... taulah, hikam ini sejak datang ke sanggar itu sering bikin ulah heboh nggak karuan" aku paham itu.
"ah... taulah, hikam ini sejak datang ke sanggar itu sering bikin ulah heboh nggak karuan" aku paham itu.
Awalnya kita duduk tepat di belakang seorang juri yg mirip banget sama Magnes Susseno, dia bahkan acuh melihat Hikam yg paling kecil diantara deretan kursi2 itu. Yang di akhir2 acara justru menyapa Hikam (ketika kursi mulai banyak yg kosong). Entah ngomong apa, kita dari belakang cuman memperhatikan aja. Pertamanya diajak salaman, lalu entah gimana kakek juri itu ngasih sebungkus roti dlm kardusnya.
Dan.... seperti biasa, kalo nggak ada wadah sampah. Biasanya ia akan memberikan bungkus makanan itu kembali ke aku. Begitu juga saat itu, dia berikan bungkus plastik itu lagi ke kakek juri 😯
"Haduuu... wajah serasa mau ku tutup"
"Haduuu... wajah serasa mau ku tutup"
Dari sejak duduk sebenarnya sudah merasa nggak nyaman duduk di situ, karena banyak sekali kepulan asap rokok.
Makanya aku ajak pindah begitu melihat anak2 lain (teman sanggar) duduk di sudut seberang kursi.
Aku lihat anak2 sebaya hikam memang masih banyak tingkah, bahkan beberapa kali dia mondar mandir ke tempat ibu2nya, mereka juga ada yg berdiri di atas kursi meskipun ibunya ngingatkan berulang, hingga beberapa menit. Kurleb 20menit akhirnya mereka ngluyur keluar dari kursi2 mereka dan pada ngajak pulang.
Sementara hikam masih terlihat tenang di kursinya melihat permainan para dalang muda yg kira2 anak mahasiswa gitu.
Dan swami.... leeepppp, pules banget di sebelahnya
Makanya aku ajak pindah begitu melihat anak2 lain (teman sanggar) duduk di sudut seberang kursi.
Aku lihat anak2 sebaya hikam memang masih banyak tingkah, bahkan beberapa kali dia mondar mandir ke tempat ibu2nya, mereka juga ada yg berdiri di atas kursi meskipun ibunya ngingatkan berulang, hingga beberapa menit. Kurleb 20menit akhirnya mereka ngluyur keluar dari kursi2 mereka dan pada ngajak pulang.
Sementara hikam masih terlihat tenang di kursinya melihat permainan para dalang muda yg kira2 anak mahasiswa gitu.
Dan swami.... leeepppp, pules banget di sebelahnya
Tiap orang dapat waktu kurleb 1jam.
Di sesi ke 3, dia mulai klesotan yg akhirnya disuruh pipis sama swami. Tapi kali ini karena permainan tangan si dalang itu lincah banget memutar2 wayang, dia jadi nahan pipisnya.
Di sesi ke 3, dia mulai klesotan yg akhirnya disuruh pipis sama swami. Tapi kali ini karena permainan tangan si dalang itu lincah banget memutar2 wayang, dia jadi nahan pipisnya.
Sampai di sesi ke 3/4 dia nggak muncul2, rupanya dia duduk di belakang layar melihat wayang2 yg tertata rapi dalam wadahnya. Dan sesekali memegangnya. Swami tetap ngawasi dari jauh. Karena kalo yang nglarang itu swami, dia sok bisa tantrum. Tapi dia dibiarkan begitu saja, agar diingatkan sendiri sama crew dalang.
Saat di belakang layar rupanya bukannya menikmati bayangan wayang-wayang itu lagi, seperti yang ia lihat di beberapa pertunjukannya Sujiwo Tedjo, dan yang sering dilakukannya waktu teman-temannya pada latihan di Sanggar. Tapi melainkan ini anak mulai girang begitu banyak tim crew peserta dalang yang tengah menata wayang-wayang itu ke dalam wadahnya (semacam plangkan yang bisa dilipat).
Dia mulai asyik berinteraksi dengan mereka (entah ngomong apa, dan bagaimana mas-mas dan mbak-mbak itu, karena kami hanya ngawasi dari jauh)
"Biarkan aja, biar kalo ada sesuatu mereka yang ngingatkan. Daripada kita, ntar malah dia tantrum" kata swami
"Biarkan aja, biar kalo ada sesuatu mereka yang ngingatkan. Daripada kita, ntar malah dia tantrum" kata swami
Begitu satu crew itu memasukkan wayang-wayang itu ke dalam wadahnya, Hikam mulai gigit-gigit jari lagi. Dan ngluyur ke sudut pendopo yang kebetulan wayangnya belum mereka kemasi dalam wadah. Hanya ada satu atau dua orang di sana. Aku mulai cemas, begitu dua orang itu pergi (dalam artian, Hikam sudah nggak ada yang ngawasi lagi) karena jelas aja wayang-wayang yang mereka pakai sudah high class, dari tingkat ukiran, kelenturan sampai gagang penyu. Yang kira-kira untuk satu gunungan bisa nyampai 2jt, atau bahkan lebih. Belum wayang buto ataupun rampokan yang kira-kira kisaran di harga itu, karena bentuknya juga bagus.
Begitu sepi, ia mulai menata. Entah bagaimana dia mengelompokkan satu wayang dengan wayang lainnya. Dijajar rapi. (ah....?? ini mah, kebiasaannya dari bayi suka begini ini) Yang jelas, dia lebih hati-hati memang, nggak sembrono kaya di rumah.
"Masih mau nonton nggak? kalo enggak pulang aja yuk!" seperti biasa, sekali dua kali di lus, aku kadang sok suka naik suara. makanya aku mending minggir, daripada ntar tantrum
ku kode swami, untuk cepat-cepat mengalihkan perhatian Hikam dari situ. Entah kira-kira 15menit, dia muncul lagi dari balik layar dan mulai menyusuri deretan kursi-kursi yang mulai kosong. Dan ia kembali lagi ke tempat duduk tepat di belakang Juri, karena mungkin lebih jelas pandangannya.
Di situlah si kakek Juri yang rambutnya putih dikucir, dengan wajah lebih mirip orang luar. Dengan hidung tinggi, tipis, kulitnya putih keriput bersih dan bergelayut. Di situlah terjadi dialog sekilas antara mereka seperti yang ku jelaskan di atas tadi.
Begitu 4 orang selesai, dia tetap bersikukuh di kursinya. Padahal orang-orang sudah pada bubar. Dia belum mau pergi juga. Yang akhirnya begitu beberapa lampu dipadamkan dia mulai nangis. Bukan karena itunya, tapi karena sandalnya yang dikira ilang, padahal sudah ku ambil lebih dulu
No comments:
Post a Comment