Saat reka divonis tivus, aq jadi ingat beberapa puluh tahun yang lalu. Tepat seperti Reka saat ini yang duduk di bangku kelas 4 SD.
Saat itu "rumangsaku" pikiranku benar-benar gaduh soal dunia perpolitikan Orde Baru dan Orde lama yang sering aku nguping dari diskusi alm Bapak dengan kakak laki2ku.
"Rumangsaku" Indonesia dalam beberap tahun bakal hancur sehancur2nya. Atau perang yang bakal memporak-porandakan suasana pantura yang sudah panas saat itu.
Yang ku pikirkan adalah, aku pingin melarikan diri dari hingar bingar itu, yang sebnarnya itu hanya ada dalam pikiranku sendiri. Karena nyatanya saat itu Indonesia tengah merayakan tahun keemasan 50Tahun merdeka Era Soeharto.
Tapi lagi2 alm Bapak menuding itu karena aku kecapekan. Atau suka jajan yang nggak sehat.
Soal capek, aku ink termasuk anak yang banyak melamunnya daripada petakilannya. Soal jajan nggak sehat, bisa jadi karena kantin sekolahku dulu memang dekat KM yang jorok, dan aku sebenarnya agak anti jajan di situ. Maklum sekolah inpres yg tiap hujan mesti kebanjiran.
Tapi yang paling menguras pikiranku saat itu adalah pikiran kekhawatiranku soal perang, kehancuran dst.
Saking panasnya, sampai nggak sadar beberapa hari dan kepala pun mulai botak karena itu.
Soal capek, aku ink termasuk anak yang banyak melamunnya daripada petakilannya. Soal jajan nggak sehat, bisa jadi karena kantin sekolahku dulu memang dekat KM yang jorok, dan aku sebenarnya agak anti jajan di situ. Maklum sekolah inpres yg tiap hujan mesti kebanjiran.
Tapi yang paling menguras pikiranku saat itu adalah pikiran kekhawatiranku soal perang, kehancuran dst.
Saking panasnya, sampai nggak sadar beberapa hari dan kepala pun mulai botak karena itu.
@@@
Beberapa hari belakangan dia sering ngeluh kalau malam dia nggak bisa tidur. Makanya untuk menghibur diri, dia selalu tidur di depan tv hingga larut.
Beberapa hari belakangan dia sering ngeluh kalau malam dia nggak bisa tidur. Makanya untuk menghibur diri, dia selalu tidur di depan tv hingga larut.
Awalnya aku kira dia mau nonton film apa, tapi ketika tahu dia nggak bisa tidur gara-gara ada rasa aneh di rumah, aku pun baru sadar itu. Bahwa dia memang seperti itu, meskipun aku sendiri jarang bahkan nggak pernah cerita horor di rumah.
Soal hal-hal semacam ini jarang aku menanggapi serius. Beda dengan ayahnya, yang akhirnya dia mau cerita terus terang apa yang dia rasakan dengan energi negatif saat berada di tempat-tempat tertentu.
Awalnya aku tuding, itu karena dia sering nonton film minicraft tentang monster school. Tapi ketika dia cerita, "Aku itu kalo nonton film-film begitu bisa kebayang2 berhari-hari" baru sadar kalau dia anak visual memang begitu, ketika mampu memvisualisasikan sesuatu, akan susah hapusnya.
Awal dari demam nya yang ku curigai adalah pola makannya yang susah dan pilih-pilih, selain lama banget.
Tapi ketika aku berpikir flash back ke belakang akhir-akhir ini, dia seperti tengah memikirkan sesuatu.
Apa itu? Entah lah.
Apa itu? Entah lah.
Yang jelas dia sering mengungkapkan kecemasannya dengan mengalihkan pada pembicaraan yang sebenarnya aku tahu, dia nggak sedang berpikir itu.
Tapi lagi-lagi karena si emak selalu meminta pengertiannya, dia seperti menelan dan menekan semua keinginan-keinginannya yang banyak.
Seperti diantaranya dia selalu mengeluh kalo dia nggak punya mainan baru di rumah. Padahal yang kita tahu dibanding adiknya, dia lebih sering membeli mainan kecil2an yang dia beli dari uangnya sendiri.
Aku tahu yang dia maksud nggak punya "mainan" itu artinya mainan besar dengan bandrol harga yang mahal.
Aku tahu yang dia maksud nggak punya "mainan" itu artinya mainan besar dengan bandrol harga yang mahal.
Dia nggak melihat harga itu, dia hanya melihat mainan itu bisa "diapakan" atau dirubah menjadi "apa". Dan untuk mendapatkan mainan semacam itu, sudah mesti kudu masuk ke toko mainan yg bukan ecek2 lagi.
Kadang apa yang dia harapkan, di kota Sragen ini belum tentu ada. Kalau misal nggak ada, di toko mainan dia akan mengambil sembarang mainan yang mana aku tahu, itu bukan yang dia harapkan. Tapi berpikirnya "daripada nggak dapat apa2". Dan beberap hari kemudian dia akan nggremeng lagi nggak punya mainan baru.
Kadang apa yang dia harapkan, di kota Sragen ini belum tentu ada. Kalau misal nggak ada, di toko mainan dia akan mengambil sembarang mainan yang mana aku tahu, itu bukan yang dia harapkan. Tapi berpikirnya "daripada nggak dapat apa2". Dan beberap hari kemudian dia akan nggremeng lagi nggak punya mainan baru.
Kenapa aku bisa bilang begitu? Karena itu sudah pernah terjadi berkali2 dan insya Allah sy paham betul bagaimana dia.
Seperti misal ketika aku lagi googling mobil2an, dia meng iya kan saja. Meski dengan catatan tunggu rejeki dulu, atau ambil uang tabunganmu. Ia pun hanya mengiyakan seperti pasrah.
Padahal beberapa bulan ini dia baru mengeluh bosan di rumah dan ingin ikut les ini dan itu.
Nggak tanggung-tanggung, biaya les nya dia menyedot hampir 60-70% dari anggaran pendapatan si ayah. Yang akhirnya kami kudu ikat pinggang kenceng2.
Tapi itu semua meruap hanya dalam hitungan waktu 2-4bulan. Bayangin dengan biaya pendaftaran masuk dan ongkos PP keluar kota nya mak... karena di Sragen belum ada kursus semacam itu.
Nggak tanggung-tanggung, biaya les nya dia menyedot hampir 60-70% dari anggaran pendapatan si ayah. Yang akhirnya kami kudu ikat pinggang kenceng2.
Tapi itu semua meruap hanya dalam hitungan waktu 2-4bulan. Bayangin dengan biaya pendaftaran masuk dan ongkos PP keluar kota nya mak... karena di Sragen belum ada kursus semacam itu.
Kami pun senang, karena akhirnya kami bisa bernafas lagi😅
Sempat sy tawarkan gimana kalo sekolah, dia beralasan lagi bla bla bla... Termasuk ketika ia mengeluh kalo temannya hanya itu-itu saja, baik di tempat les maupun di rumah.
Aku balik lagi, di Sekolah pun sama. Temannya itu-itu lagi. Lalu ku contohkan teman-teman sekitar rumah yang nyaris nggak pernah keluar kota atau piknik kemana-mana. Begitu mereka pulang sekolah, di rumah main sama anak itu-itu lagi. Bahkan di hari libur pun mereka tetap di rumah. Dan itu nggak masalah.
Aku balik lagi, di Sekolah pun sama. Temannya itu-itu lagi. Lalu ku contohkan teman-teman sekitar rumah yang nyaris nggak pernah keluar kota atau piknik kemana-mana. Begitu mereka pulang sekolah, di rumah main sama anak itu-itu lagi. Bahkan di hari libur pun mereka tetap di rumah. Dan itu nggak masalah.
Bandingkan dengan kamu yang hampir tiap minggu pasti keluar rumah dan main ke tempat2 terbuka, atau sekedar berkunjung ke rumah temanmu.
Bolak-balik kita pertimbangan antara sekolah dan homeschooling mengingat karakternya yang gampang bosen.
Tapi membayangkan biaya masuknya yang wow, jika sekolah yg dia harapkan dan belum tentu ada di Sragen, aku pun berpikir ke sekian kali ketika hendak memasukkan sekolah negeri biasa mengingat karakternya susah bilang berkata "tidak" pada temannya.
Bahkan di saat ia demam dan lemas teman2nya selalu panggil2 ajak main, dia mulai mengeluh kalo anak2 itu kalo hari sabtu minggu selalu berisik ngajak main.
Tapi membayangkan biaya masuknya yang wow, jika sekolah yg dia harapkan dan belum tentu ada di Sragen, aku pun berpikir ke sekian kali ketika hendak memasukkan sekolah negeri biasa mengingat karakternya susah bilang berkata "tidak" pada temannya.
Bahkan di saat ia demam dan lemas teman2nya selalu panggil2 ajak main, dia mulai mengeluh kalo anak2 itu kalo hari sabtu minggu selalu berisik ngajak main.
Di sini aku sering merasa bingung.
Seperti apa sih suasana yang dia mau, yg membuatnya dia nggak bosan dan bisa bertahan???
Seperti apa sih suasana yang dia mau, yg membuatnya dia nggak bosan dan bisa bertahan???
Mengapa anak2 HS lainnya bisa menikmati waktu senggang dengan mengisi banyak hal, termasuk adiknya yang nyaris nggak pernah kehabisan akal mempelajari sesuatu secara otodidak, meski hampir semua keinginanya jarang aku dengar dibanding kakaknya.
No comments:
Post a Comment