Wednesday, September 7, 2016

Bahasa Isyarat saat Romadhon untuk Perenungan 2016


Puasa dan lebaran tahun ini judulnya sebuah perenungan perjalanan hidup dan apa maknanya sebuah kematian.
Entah kenapa Allah seakan menunjukkan itu kepadaku.
Mungkin saja IA sedang berkata, "umurmu sudah 30an bah... ayo insyaf, perjalananmu di dunia tinggal berapa langkah lagi,"
"Seperti ini lho! Perjalananmu ke depan nanti" kataNya saat lebaran kemarin, ketika dipertemukan dan dikabarkan tentang kehebatan orang2 yg diberi kelebihan Allah melihat sisi dua alam.
Merinding, tertunduk tak berdaya aku duduk bersimpuh di pusara alm bapak.
Rasanya ingin menjerit dan menangis sekeras mungkin betapa beratnya kehidupan beliau di masa lalu menanggung beban 11 anak di pundaknya dengan berbagai karakter, hingga itu harus ditanggung saat di alam kedua.
"Oh Allah, aku harus bagaimana jalani kehidupan ini nantinya??"
Hari2 puasa serasa singkat memaknai tiap detik waktu serasa aku takut jika anak2ku ini lupa akan makna puasa.
Jadilah saban hari hanya jadi satpam dan alarm bagi anak2ku. Dan uang habis entah berapa banyak untuk membeli sarapan di luar, krn saat2 itu saya benar2 merasa sedang ditarik lebih dalam lagi memaknai tiap menit waktu. Menyimak dialog diri. Dan tak ada kata "menunggu lebaran" lagi, karena aku merasa sudah cukup diberi banyak olehNya.
Dialog, dialog dan dialog....
Bisa dibilang saya nggak pernah masak untuk keluarga kecuali nasi,
Namun alhamdulillahnya Allah memberi kelonggaran finansial.
Terimakasih banyak atas penerimaan ini untuk swami yg nggak pernah protes, bahkan cenderung mendukung apa yang sedang saya alami dan rasakan menjalani hari2 Romadhon bersama anak2.
Apa yang saya rasakan kemarin untuk anak2 di hari ini adalah seperti apa yang saya tulis dulu, hajatan kepada Sang Maha Penjaga Jagad Raya ini dengan,
Memaknai makanan dan memahamkan apa itu tirakat.
Mungkin ini hanyalah bahasa hati seorang ibu, bagaimana mereka akhirnya semangat dengan memakan apa yang harus dimakan dan belajar menahan diri apa yang mereka inginkan.
Tahu sendirilah, kami bertiga termasuk orang perfect, termasuk sebenarnya suami sendiri dalam hal teori.
Jadilah puasa ini seperti kami sedang ditahan untuk nggak protes dengan segala pemberian dan apa yang kami miliki.
Ada dialog antara kami berdua yang membuat kami harus terima dengan keberadaan anak2 yang begitu "selektif" memilih makanan.
Makan itu penting untuk tubuh, tapi itu bukan berarti Hidup adalah untuk Makan. Namun sebaliknya, Makan untuk bisa Hidup.
Jadi seberapa penting makanan adalah ketika tubuh memang menyatakan butuh untuk itu, makan untuk bisa beribadah. Dan melakukan sebanyak mungkin tindakan, termasuk berpikir dan melakukan banyak hal hanya untuk bisa kembali kepadaNya dengan se selamat dan sebaik mungkin.
Lagi-lagi hanya mengharap ke ridho annya.
Ketika Hikam nggak mau makan, meski kami tahu dia lapar. Kadang saya jadi merasa sedikit curiga dengan makanan itu. Terutama soal daging. Meskipun aku tahu dia itu termasuk paling suka dengan daging dan ikan2nan.
Seperti halnya aku sendiri saat membeli makanan di luar. Entah feeling apa, aku nggak sanggup makan makanan itu.
Tapi di titik lapar, masih bisa toleran dengan jargon "semua makanan itu thoyyib dan halal ketika lapar😄" bodoh benar??!!
Puasa, tak lebih dari sekedar kata "menahan diri" yang maknanya sangat luas, namun aku sendiri belum bisa melakukannya termasuk menahan tidak emosi menghadapi masalah yang muncul saban hari.
Ketika meditasi pun sering di usik, ketika sholat pun di usik, ketika semua pekerjaan dan pikiranku sering diusik.
Aku benar2 serasa tidak berdaya menghadapi usikan itu tiap detiknya oh Allah. Mohon tuntunlah kami agar bisa memaknai kehidupan ini sebaik mungkin. Sehingga kami siap kapanpun saat Kau memanggil kami untuk kembali.

No comments:

Perkembangan Amira 2-3tahun

Ledakan perolehan kosa kata terjadi dalam waktu satu tahun belakangan pasca kecelakaan di tahun 2021 Maret 28. Yang sebenarnya d...