Ketika seseorang bercerita tentang bagaimana kalapnya menangani anak Gifted nya yang sudah terlanjur berani melawan ibu nya, bahkan guru-gurunya. Lalu saking nggak tahannya si ibu menghadapi itu, terbersit dalam hati ingin menusukkan pisau ke anaknya.
Bukan menghakimi si ibu itu, saya justru flashback ke diri saya ketika melihat masa kecilku yang begitu merepotkan dan suka melawan.
Bukan hanya kakak, tapi juga ibu.
Rasanya sepanjang perjalanan hidup dari SD hingga SMP di rumah, hampir tidak punya kenangan manis apapun kecuali cerita kakakku tentang mereka sendiri dengan saudara-saudaranya.
Sudah dua kali saya diusir dari rumah sama ibu gara-gara bermasalah dengan kakak-kakakku. Benar-benar diusir. Diseret dan didorong keluar pintu, layaknya menyeret orang gila yang tengah menangis.
Itu rasanya sangat-sangat menyakitkan...
Entah yang ke berapa kalinya saat bapak tiba dari mushola, ia selalu datang membangunkanku dg baju basah keringat dan air mata menggigil kacau hendak pergi kemana di pojok pintu depan rumah.
Sempat terbayang minggat dari rumah, tapi mata awas dan pikiranku yang jauh selalu berpikir bahwa jika aku benar2 keluar, mereka bakal tertawa ketika aku menjadi orang gembel di jalanan. Belum lagi pelecehan seks yang harus aku hadapi. Niat minggat berulangkali itu aku urungkan dan berusaha bertahan dengan kebingunganku menjadi diri sendiri yang memang beda dari 11bersaudara.
(Entah di bagian ini aku nggak kuat menahan tangisku, teringat betapa hancurnya perasaanku saat masa-masa berat itu)
Di tengah frustasi itu, rasanya hanya ada Allah dan aku yang paham. Sekalipun mereka bilang bahwa Allah bakal menghukumku satu saat kelak karena kelakuanku itu. Tapi aku percaya, DIA lebih paham aku daripada apa yang mereka tahu tentangku.
Bahkan malam-malam seringkali aku duduk sendiri ngobrol dengan angin dan bintang serta Allah untuk menyelamatkan kehidupanku kelak.
Teman dan sosok fantasi bapak, yakni Allah ini sejenak bisa memberiku harapan dan ketenangan sejenak. Dan mulai menanggalkan harapan cinta dan kasih dari ibu yang lelah tak pernah aku dapat. Bahkan rasa benci dan muak serta dendam itu pun menyelinap perlahan mengalir hingga ke ubun-ubun.
Dua kali juga pernah ditodong pisau sama ibu gara2 melawan perkataannya, yang ku anggap itu benar-benar tidak adil bagiku. Dengan mata melotot yang seolah-olah itu pisau bakal ditusuk ke leherku.
Entah kenapa aku melihat ibu seperti kesetanan melawanku yang dianggap sudah melampaui batas kesabaran.
Saat itu posisiku benar-benar merasa sendiri.
Tidak ada satu orang pun kakak perempuan yg semua berjumlah 6 itu yang membela dan memahami apa yang kumaksudkan.
Karena nyatanya aku merasa orang tua tidak pernah adil memperlakukanku, sekalipun mereka bilang, aku ini sangat menuntut, sangat susah diatur, maunya sendiri.
Masih ingat betul waktu itu maghrib bertengkar hebat dengan kakak, lagi-lagi ujungnya sama. Ibu datang menyalahkan bahwa aku ini anak kecil yang selalu maunya menang sendiri.
Sambil melotot Ibu menjeblokkan kepalaku berulang kali dan menjepit kepalaku ke dinding, sampai aku merasa tempurung otakku sebentar lagi bakal hancur. Mungkin semenjak kepalaku sering dijeblokkan, dijambak, ditoyor sampai sekedar ditampar itulah aku mulai merasakan sering gejala pusing hebat, selain faktor pikiran yang tak pernah berhenti berpikir.
Entah kenapa ibu selalu berbuat seperti itu.
Padahal aku hanya ingin diperlakukan adil, itu saja.
Ingin diperlakukan sama seperti kakak-kakakku. Cukup itu.
Namun rupanya itu tidak pernah aku dapatkan hingga akhirnya harus memilih keluar dari rumah.
Satu-satunya alasan bisa keluar dari rumah neraka itu adalah alasan studi, seperti kakakku yang di pondok.
Bidikanku mendarat di STM Perhutani. STM favorit yang aku tahu saat itu ada di kota Pemalang dekat kota asalku Pekalongan.
Yang terbayang dalam benak pikiranku adalah; ketika aku bekerja di hutan, suasana begitu hening dan nyaman.
Berkawan dengan angin dan pepohonan itu jauh lebih baik daripada berkawan dengan manusia.
Kenapa aku beranggapan demikian?
Karena ketika temanku datang main ke rumah, kakak dan ibu datang menjelek-jelekkan aku dengan berbagai cara. Dan itu, lagi-lagi membuat harga diriku hancur sejak SD. Karena mereka bakalan menganggapku lelucon aneh yang bakal jadi bahan tertawaan di sekolah.
Perlahan namun pasti, kehilangan rasa percaya diri itu mulai menyerang hari-hariku. Bahkan untuk sekedar bercermin pun aku tak berani menatap wajahku yang ku rasa terlalu buruk dan menyeramkan. Bahkan beberapa foto saat SMP nyaris tak ada foto tersenyum.
Yah! aku anak yang sangat rigid terhadap diri sendiri. Bahkan sangat rigidnya, tak pernah mau menerima surat cinta monyet dari teman lelaki yang saat masa orientasi sekolah menjadi berita heboh di sekolah.
Sejak itu aku malas jika ada teman main ke rumah, meskipun aku tetap berharap bahwa mereka bakal mengunjungiku dan membuktikan pada mereka, bahwa aku ini tidak seburuk yang mereka kira.
Bukan menghakimi si ibu itu, saya justru flashback ke diri saya ketika melihat masa kecilku yang begitu merepotkan dan suka melawan.
Bukan hanya kakak, tapi juga ibu.
Rasanya sepanjang perjalanan hidup dari SD hingga SMP di rumah, hampir tidak punya kenangan manis apapun kecuali cerita kakakku tentang mereka sendiri dengan saudara-saudaranya.
Sudah dua kali saya diusir dari rumah sama ibu gara-gara bermasalah dengan kakak-kakakku. Benar-benar diusir. Diseret dan didorong keluar pintu, layaknya menyeret orang gila yang tengah menangis.
Itu rasanya sangat-sangat menyakitkan...
Entah yang ke berapa kalinya saat bapak tiba dari mushola, ia selalu datang membangunkanku dg baju basah keringat dan air mata menggigil kacau hendak pergi kemana di pojok pintu depan rumah.
Sempat terbayang minggat dari rumah, tapi mata awas dan pikiranku yang jauh selalu berpikir bahwa jika aku benar2 keluar, mereka bakal tertawa ketika aku menjadi orang gembel di jalanan. Belum lagi pelecehan seks yang harus aku hadapi. Niat minggat berulangkali itu aku urungkan dan berusaha bertahan dengan kebingunganku menjadi diri sendiri yang memang beda dari 11bersaudara.
(Entah di bagian ini aku nggak kuat menahan tangisku, teringat betapa hancurnya perasaanku saat masa-masa berat itu)
Di tengah frustasi itu, rasanya hanya ada Allah dan aku yang paham. Sekalipun mereka bilang bahwa Allah bakal menghukumku satu saat kelak karena kelakuanku itu. Tapi aku percaya, DIA lebih paham aku daripada apa yang mereka tahu tentangku.
Bahkan malam-malam seringkali aku duduk sendiri ngobrol dengan angin dan bintang serta Allah untuk menyelamatkan kehidupanku kelak.
Teman dan sosok fantasi bapak, yakni Allah ini sejenak bisa memberiku harapan dan ketenangan sejenak. Dan mulai menanggalkan harapan cinta dan kasih dari ibu yang lelah tak pernah aku dapat. Bahkan rasa benci dan muak serta dendam itu pun menyelinap perlahan mengalir hingga ke ubun-ubun.
Dua kali juga pernah ditodong pisau sama ibu gara2 melawan perkataannya, yang ku anggap itu benar-benar tidak adil bagiku. Dengan mata melotot yang seolah-olah itu pisau bakal ditusuk ke leherku.
Entah kenapa aku melihat ibu seperti kesetanan melawanku yang dianggap sudah melampaui batas kesabaran.
Saat itu posisiku benar-benar merasa sendiri.
Tidak ada satu orang pun kakak perempuan yg semua berjumlah 6 itu yang membela dan memahami apa yang kumaksudkan.
Karena nyatanya aku merasa orang tua tidak pernah adil memperlakukanku, sekalipun mereka bilang, aku ini sangat menuntut, sangat susah diatur, maunya sendiri.
Masih ingat betul waktu itu maghrib bertengkar hebat dengan kakak, lagi-lagi ujungnya sama. Ibu datang menyalahkan bahwa aku ini anak kecil yang selalu maunya menang sendiri.
Sambil melotot Ibu menjeblokkan kepalaku berulang kali dan menjepit kepalaku ke dinding, sampai aku merasa tempurung otakku sebentar lagi bakal hancur. Mungkin semenjak kepalaku sering dijeblokkan, dijambak, ditoyor sampai sekedar ditampar itulah aku mulai merasakan sering gejala pusing hebat, selain faktor pikiran yang tak pernah berhenti berpikir.
Entah kenapa ibu selalu berbuat seperti itu.
Padahal aku hanya ingin diperlakukan adil, itu saja.
Ingin diperlakukan sama seperti kakak-kakakku. Cukup itu.
Namun rupanya itu tidak pernah aku dapatkan hingga akhirnya harus memilih keluar dari rumah.
Satu-satunya alasan bisa keluar dari rumah neraka itu adalah alasan studi, seperti kakakku yang di pondok.
Bidikanku mendarat di STM Perhutani. STM favorit yang aku tahu saat itu ada di kota Pemalang dekat kota asalku Pekalongan.
Yang terbayang dalam benak pikiranku adalah; ketika aku bekerja di hutan, suasana begitu hening dan nyaman.
Berkawan dengan angin dan pepohonan itu jauh lebih baik daripada berkawan dengan manusia.
Kenapa aku beranggapan demikian?
Karena ketika temanku datang main ke rumah, kakak dan ibu datang menjelek-jelekkan aku dengan berbagai cara. Dan itu, lagi-lagi membuat harga diriku hancur sejak SD. Karena mereka bakalan menganggapku lelucon aneh yang bakal jadi bahan tertawaan di sekolah.
Perlahan namun pasti, kehilangan rasa percaya diri itu mulai menyerang hari-hariku. Bahkan untuk sekedar bercermin pun aku tak berani menatap wajahku yang ku rasa terlalu buruk dan menyeramkan. Bahkan beberapa foto saat SMP nyaris tak ada foto tersenyum.
Yah! aku anak yang sangat rigid terhadap diri sendiri. Bahkan sangat rigidnya, tak pernah mau menerima surat cinta monyet dari teman lelaki yang saat masa orientasi sekolah menjadi berita heboh di sekolah.
Sejak itu aku malas jika ada teman main ke rumah, meskipun aku tetap berharap bahwa mereka bakal mengunjungiku dan membuktikan pada mereka, bahwa aku ini tidak seburuk yang mereka kira.
No comments:
Post a Comment