Tuesday, November 27, 2018

Sosialisasi yang Canggung

Waktu duduk di bangku sekolah dasar, aku ini termasuk anak manis yang selalu menjadi perhatian guru-guru.
Dan... memang berusaha menjaga image itu agar bisa dilihat sebagai seorang anak yang baik.

Menjelang masuk kelas 3, ada murid baru dari sekolah lain. Dia lah anak lelaki pertama kali yang kulihat sebagai anak lelaki yang sempurna.
Kenapa? Selain bajunya yang selalu disetrika rapi, lengkap dengan sepatu dan topi nya yang bersih membuat wajah ke arab2an itu makin menarik, meski aku nggak suka dengan rambut ikalnya.

Dialah Zaky, anak yang paling sensitif dan sering mengamuk hanya gara-gara masalah sepele, seperti misal sikunya kesenggol teman.

Bagi kami, ia adalah anak misterius yang selalu diam memendam masalahnya. Entah apa aku nggak tahu, tapi setahuku ia punya masalah serius dengan keluarganya. Kabar itu aku tahu justru dari teman SD saat duduk di bangku SMA.

Itulah pertama kalinya ia meminta dua teman akrabku mengantarku ke rumahnya.
Dan kondisinya, benar-benar di luar dugaan dari penampilannya yang dulu yang paling rapi dan terawat.

Saat pagi tiba, ia selalu keluar kelas dan termenung di depan kubangan lapangan yang selalu dipenuhi air kecoklatan saat musim hujan setinggi 1,5m dari lantai sekolah untuk mengantisipasi air hujan masuk.

Entah apa yang terjadi, namun aku merasa punya ikatan batin yang tak wajar dengannya. Karena belakangan, ia selalu hadir dalam mimpi-mimpiku hingga jadi mahasiswa di Yogya.

Bukan mimpi romantisme atau drama ala korea, melainkan simbol-simbol yang sulit aku bahasakan. Seperti diantaranya; aku melihat sosoknya di depan gundukan tanah semacam kuburan orang China dengan nuansa gelap menghadap sumber cahaya putih yang terang, dan segambreng mimpi-mimpi isyarat yang muncul hampir tiap malam seperti menonton drama serial yang bertahun-tahun lamanya.

Dan itu sangat menjengkelkan. Apalagi saat menjadi mahasiswa, mulai melirik beberpa lelaki yang bagiku masuk kriteria.
Tapi entah mengapa mimpi itu seperti menterorku tiap malam.

Hingga aku harus menyadari se sadar-sadarnya, bahwa itu adalah cinta pertama yang sejati. Tapi ternyata....?
Entah apa.
Nyatanya hingga aku berkeluarga pun mimpi-mimpi isyarat itu masih kerap muncul. Namun kini aku menganggapnya pesan alam yang dikirim padaku. Untuk apa?? Aku nggak tahu juga.

Itulah awal mula aku memberikan lampu kuning pada seorang lelaki, dan memberanikan diri tanya kabar Zaky pada teman SD dulu di kampung halaman. Dalam surat itu terang-terangan aku katakan kalau "aku kangen", makanya aku memaksa mereka agar menemukan alamat rumahnya yang sudah pindah ke luar kota.

Kenapa? karena aku ini orangnya, ketika punya keinginan sesuatu, harus segera terpenuhi. Tidak ada kata tidak mungkin dalam kamus ku. Itulah mengapa aku memakai kata-kata "kangen"

Tangan berasa lemas, nafas serasa berhenti menyimak detak jantung yang tak beraturan saat menulis surat itu... Rasanya nyaris seperti nyemplung sumur. Karena sejak smp, aku ini terkenal dingin dengan lawan jenis. Bahkan teman kuliahku bilang, aku ini seolah-olah seperti nggak butuh lelaki.

Itu terpaksa aku lakukan demi memecahkan misteri mimpi-mimpi panjang bertahun-tahun yang bagiku itu sudah sangat mengganggu di tiap malam, layaknya menonton sinetron.

Satu saat kami sengaja ketemuan di rumah teman. Lagipula, bisa kacau kalau di rumahku sendiri.
Dan pertama kali kami ketemu, bukan aku tapi dia yang mengintrogasiku lebih dulu. Darimana dapat alamat rumahnya. Ini yang menjengkelkan amat sangat. Harga diriku terasa sedang di bawah ketiaknya.

Ada satu hal yang ku perhatikan dari sosoknya yang hampir pas dengan mimpi-mimpiku.
Ia misterius, dan nampak seperti orang punya gangguan jiwa. Bukan gila, tepatnya seperti pemakai narkoba.

Dalam pertemuan berikutnya, ia mulai curiga bukan main. Siapa aku sebenarnya, darimana ia tahu semua tentang kehidupannya. Karena baginya, kata-kataku ini sudah sangat mengaduk-aduk privasinya saat itu.
Bahkan ia tidak percaya sama sekali jika aku tahu hanya lewat mimpi-mimpi isyarat.

Saat itulah rasa kesalku mulai muncul. Bahkan performance dalam mimpiku yang sempurna sangat bertolak belakang dengan kenyataannya.

Dia bukan lelaki sempurna lagi.
Apalagi saat aku berhasil membongkar rahasianya bahwa ia dulu mantan pemakai narkoba kelas berat yang mana nyawanya hampir melayang gara-gara over dosis.

Ditambah lagi seorang perokok dan peminum. Itu benar-benar menjatuhkan harga diriku sebagai seorang mahasiswi yang dianggap cerdas namun punya selera rendah. Karena selain tidak mengenyam pendidikan bangku kuliah, ia juga mengaku kadang jadi pengamen jalanan. Hancur bukan main harga diriku.

Tapi satu hal yang membuatku berat, yakni keluarganya.

Yang aku heran adalah satu. Di mataku Zaky ini lelaki hancur berantakan, tapi ia tetap dihargai dan disegani adik-adiknya. Begitu juga denganku yang belakangan diminta menginap di rumahnya oleh ibu dan adik-adiknya.

Ya! mungkin aku ini termasuk mahasiswi bebas main ke rumah cowoknya, bahkan menginap 1-2hari itu seperti hal biasa.
Tapi satu hal yang ku pegang kekeh. Sentuhan tangan (semacam bersalaman saja nggak pernah), apalagi yang lainnya. Ini juga berlaku buat semua teman lelakiku di kampus. Aku paling nggak suka kontak fisik dengan perempuan, apalagi lelaki.

Bisa dibayangin kan?? Di sana apa yang bisa kita lakukan selain ngobrol ngobrol dan ngobrol. Baik pada adik-adiknya, ibunya, neneknya, bahkan dia sendiri hingga pagi.

Apa nggak ada keinginan? Tentu saja ada.
Tapi aku tahu diri, bahwa jika itu terjadi "sekali saja" Hancur semua masa depan yang dari dulu aku susun.

Kalau bisa dibilang, inilah tempat pelarianku yang sesungguhnya dari rumah dan keluargaku yang ku anggap seperti neraka. Sejak dulu semua kata-kataku dianggap omong kosong dan konyol.

Dalam keluarga Zaky, aku merasa bahwa semua kata-kata dan tindakanku dihargai, bahkan oleh ibu dan neneknya, apalagi adik-adiknya.

Di sinilah aku merasa menjadi manusia seutuhnya yang mana aku merasa, "seperti inilah harusnya sebuah keluarga" sekalipun dengan segala kekurangan sana-sini. Termasuk ibunya yang telah cerai bertahun-tahun kini main-main dengan lelaki lain yang umurnya jauh di bawahnya.

Di akhir jelang wisuda, ternyata ibu bapakku membuat spion di belakangku.
Semenjak Zaky datang ke rumah, ibu langsung mengintrogasinya dari A-Z seperti yang dilakukan pada saat suamiku pertama kali datang ke rumah.

Itulah detik-detik kehancuran hubungan kami.

Aku sadar, dia bukan lelaki baik-baik. Tapi sisi lain sudah terlanjur merasa nyaman dengan keluarganya. Karena nyatanya jika aku ngobrol dengan Zaky adanya sering pertengkaran demi pertengkaran yang sepertinya kami memang nggak cocok satu sama lain, sekalipun kami sama-sama saling merindukan.

Saat tahu latar belakang keluarga dan diri Zaky. Ibu ketakutan bukan main dan mengancamku nggak akan menganggapnya anaknya lagi jika nggak segera putus hubungan dengannya.

Saat itulah aku bermunajat kuat minta pertolongan Allah agar ditunjukkan yang terbaik untukku saat itu.
Karena merasa sendiri lagi di tengah keluarga yang tidak menganggapku manusia itu adalah hal yang paling menyedihkan dalam hidup. Apalagi kehilangan sosok nyaman si ibu Zaky.

Saat itulah beberapa orang lelaki datang dan pergi seperti Allah sedang memberikan pilihan-pilihan itu.




Sunday, November 25, 2018

Jelang Kelahiran Amira

Ruang kelas yang terlalu luas ini kadang sulit dijelaskan pada khalayak.
Biarlah keluarga yg peduli dg Home Edukasi saja yang mau memahaminya.







Lebih akrab dengan apa itu babi laut, bintang laut, ular pantai, jingking, ketam kelapa, terbentuknya pasir putih beserta batuan karang  yang menyimpan air melimpah di dalamnya.

Gunung Kidul yang hampir rata berupa tanah berbatu menjadikan kering, namun menyimpan air melimpah di dalamnya layaknya spons.

Pantai Kodok, Gunung Kidul, Yogya
#JagaAlamKita
#Jangan pungut apapun biota yang ada di dalamnya
#BawaPulangSampahmu

dari Game Zombie hingga Google Translate

Dari Game Plants vs Zombie sampai mengenal jenis sayuran, buah, macam-macam bunga, hingga microorganisme semacam jamur.





Tivus dan Pengaruh Pikiran Reka

Saat reka divonis tivus, aq jadi ingat beberapa puluh tahun yang lalu. Tepat seperti Reka saat ini yang duduk di bangku kelas 4 SD.

Saat itu "rumangsaku" pikiranku benar-benar gaduh soal dunia perpolitikan Orde Baru dan Orde lama yang sering aku nguping dari diskusi alm Bapak dengan kakak laki2ku.
"Rumangsaku" Indonesia dalam beberap tahun bakal hancur sehancur2nya. Atau perang yang bakal memporak-porandakan suasana pantura yang sudah panas saat itu.
Yang ku pikirkan adalah, aku pingin melarikan diri dari hingar bingar itu, yang sebnarnya itu hanya ada dalam pikiranku sendiri. Karena nyatanya saat itu Indonesia tengah merayakan tahun keemasan 50Tahun merdeka Era Soeharto.
Tapi lagi2 alm Bapak menuding itu karena aku kecapekan. Atau suka jajan yang nggak sehat.
Soal capek, aku ink termasuk anak yang banyak melamunnya daripada petakilannya. Soal jajan nggak sehat, bisa jadi karena kantin sekolahku dulu memang dekat KM yang jorok, dan aku sebenarnya agak anti jajan di situ. Maklum sekolah inpres yg tiap hujan mesti kebanjiran.
Tapi yang paling menguras pikiranku saat itu adalah pikiran kekhawatiranku soal perang, kehancuran dst.
Saking panasnya, sampai nggak sadar beberapa hari dan kepala pun mulai botak karena itu.
@@@
Beberapa hari belakangan dia sering ngeluh kalau malam dia nggak bisa tidur. Makanya untuk menghibur diri, dia selalu tidur di depan tv hingga larut.
Awalnya aku kira dia mau nonton film apa, tapi ketika tahu dia nggak bisa tidur gara-gara ada rasa aneh di rumah, aku pun baru sadar itu. Bahwa dia memang seperti itu, meskipun aku sendiri jarang bahkan nggak pernah cerita horor di rumah.
Soal hal-hal semacam ini jarang aku menanggapi serius. Beda dengan ayahnya, yang akhirnya dia mau cerita terus terang apa yang dia rasakan dengan energi negatif saat berada di tempat-tempat tertentu.
Awalnya aku tuding, itu karena dia sering nonton film minicraft tentang monster school. Tapi ketika dia cerita, "Aku itu kalo nonton film-film begitu bisa kebayang2 berhari-hari" baru sadar kalau dia anak visual memang begitu, ketika mampu memvisualisasikan sesuatu, akan susah hapusnya.
Awal dari demam nya yang ku curigai adalah pola makannya yang susah dan pilih-pilih, selain lama banget.
Tapi ketika aku berpikir flash back ke belakang akhir-akhir ini, dia seperti tengah memikirkan sesuatu.
Apa itu? Entah lah.
Yang jelas dia sering mengungkapkan kecemasannya dengan mengalihkan pada pembicaraan yang sebenarnya aku tahu, dia nggak sedang berpikir itu.
Tapi lagi-lagi karena si emak selalu meminta pengertiannya, dia seperti menelan dan menekan semua keinginan-keinginannya yang banyak.
Seperti diantaranya dia selalu mengeluh kalo dia nggak punya mainan baru di rumah. Padahal yang kita tahu dibanding adiknya, dia lebih sering membeli mainan kecil2an yang dia beli dari uangnya sendiri.
Aku tahu yang dia maksud nggak punya "mainan" itu artinya mainan besar dengan bandrol harga yang mahal.
Dia nggak melihat harga itu, dia hanya melihat mainan itu bisa "diapakan" atau dirubah menjadi "apa". Dan untuk mendapatkan mainan semacam itu, sudah mesti kudu masuk ke toko mainan yg bukan ecek2 lagi.
Kadang apa yang dia harapkan, di kota Sragen ini belum tentu ada. Kalau misal nggak ada, di toko mainan dia akan mengambil sembarang mainan yang mana aku tahu, itu bukan yang dia harapkan. Tapi berpikirnya "daripada nggak dapat apa2". Dan beberap hari kemudian dia akan nggremeng lagi nggak punya mainan baru.
Kenapa aku bisa bilang begitu? Karena itu sudah pernah terjadi berkali2 dan insya Allah sy paham betul bagaimana dia.
Seperti misal ketika aku lagi googling mobil2an, dia meng iya kan saja. Meski dengan  catatan tunggu rejeki dulu, atau ambil uang tabunganmu. Ia pun hanya mengiyakan seperti pasrah.
Padahal beberapa bulan ini dia baru mengeluh bosan di rumah dan ingin ikut les ini dan itu.
Nggak tanggung-tanggung, biaya les nya dia menyedot hampir 60-70% dari anggaran pendapatan si ayah. Yang akhirnya kami kudu ikat pinggang kenceng2.
Tapi itu semua meruap hanya dalam hitungan waktu 2-4bulan. Bayangin dengan biaya pendaftaran masuk dan ongkos PP keluar kota nya mak... karena di Sragen belum ada kursus semacam itu.
Kami pun senang, karena akhirnya kami bisa bernafas lagi😅
Sempat sy tawarkan gimana kalo sekolah, dia beralasan lagi bla bla bla... Termasuk ketika ia mengeluh kalo temannya hanya itu-itu saja, baik di tempat les maupun di rumah.
Aku balik lagi, di Sekolah pun sama. Temannya itu-itu lagi. Lalu ku contohkan teman-teman sekitar rumah yang nyaris nggak pernah keluar kota atau piknik kemana-mana. Begitu mereka pulang sekolah, di rumah main sama anak itu-itu lagi. Bahkan di hari libur pun mereka tetap di rumah. Dan itu nggak masalah.
Bandingkan dengan kamu yang hampir tiap minggu pasti keluar rumah dan main ke tempat2 terbuka, atau sekedar berkunjung ke rumah temanmu.
Bolak-balik kita pertimbangan antara sekolah dan homeschooling mengingat karakternya yang gampang bosen.
Tapi membayangkan biaya masuknya yang wow, jika sekolah yg dia harapkan dan belum tentu ada di Sragen, aku pun berpikir ke sekian kali ketika hendak memasukkan sekolah negeri  biasa mengingat karakternya susah bilang berkata "tidak" pada temannya.
Bahkan di saat ia demam dan lemas teman2nya selalu panggil2 ajak main, dia mulai mengeluh kalo anak2 itu kalo hari sabtu minggu selalu berisik ngajak main.
Di sini aku sering merasa bingung.
Seperti apa sih suasana yang dia mau, yg membuatnya dia nggak bosan dan bisa bertahan???
Mengapa anak2 HS lainnya bisa menikmati waktu senggang dengan mengisi banyak hal, termasuk adiknya yang nyaris nggak pernah kehabisan akal mempelajari sesuatu secara otodidak, meski hampir semua keinginanya jarang aku dengar dibanding kakaknya.

Thursday, November 15, 2018

Ujian Mental Anak HS



Saat Reka usia 8th, satu hari sempat nggriyeng minta ke rumah mbah. Padahal, saat itu keuangan lumayan mefet untuk pulang. Kebetulan ada saudara ipar yang mau ke Batang.

Itupun sudah sy warning, "Ummi nggak kasih kamu uang jajan lho ya.."
Meskipun hati ibu akhirnya nggak tega, keluar juga uang saku😄, sambil kubawakan bekal sarapan dan snack ala market,
pikirku "Jangan sampai merepotkan yang ditumpangi, karena mereka pasti bakal akan berhenti sejenak dan sarapan"

Begitu tahu kakak mau ajak nge Camp di Kembang Langit, Batang. bareng keluargaku Reka tambah kejer nangis. Akhirnya sama kakak direkomen dititipin saudaranya yang mau berangkat ke Batang.

Ya sudah lah, meskipun nggak enak juga karena katanya mobil sudah penuh.
Padahal mereka perjalanan sudah lebih dari 20menit, lumayan jauhlah... apalagi kudu balik arah ke kota, kudu njemput anakku.
Bayangin aja dari Gemolong - Sragen kota butuh waktu sekitar 45menit.

Benar juga, setelah kami menunggu lebih dari 30menit. Sampai juga mereka di sudut Alun-alun Sragen.
Dan.... deng-deng-deng.... nggak satu orang pun yg aku kenal wajah mereka. Karena mereka ini bukan saudara dekat kakak ipar, alias bude, pakde, mbah dst... tentu saja aku nggak kenal.

Kami hanya kontak batin saja, sekali menyebut nama kakak ipar, kamipun saling paham.
Benar juga mobil sudah penuh karena ada kruk penyangga juga.
Tak banyak kami ngobrol, sy hanya ucapkan trimakasih banyak dan minta maaf karena kudu putar balik.

Dan...
Tanpa curiga, cemas, khawatir dsb.
Sampai akhirnya maghrib tiba sy kontak kakak yg ada di Batang. Ternyata belum sampai. Begitu ku tanya mobilnya, dia bilang Inova metalic sementara penglihatanku sekilas Inova cream.

Lahhh???
"Lha terus itu tadi siapa?"
"Yo nggak ngerti aku" kata kakak
Spontan ati serasa turun dari ketinggian papan luncur sekian puluh meter. Kaki lemas gemetar, perasaan kacau nggak karuan.

Seingatku ada adiknya kakak ipar. Eh, ternyata dia nggak ikut.
Cemas bukan main ketika kami telp, baik adiknya, maupun kakak ipar dg telp bude2nya nggak ada yg angkat sama sekali.

Sampai akhirnya kira2 habis Isya' bahkan nyaris larut, terjawab ternyata mereka terjebak macet di semarang.
Begitu sampai rumah dinas, Batang. Ini anak langsung turun kabur begitu melihat keponakan lain sudah pada ramai menunggu.

Begitu beliau semua nyampai rumah dinas kakak. Semua pada cerita terheran-heran dan geli sama si anak satu ini yang katanya sejak naik sampai mau sampai tujuan ngobrol nggak ada habis-habisnya😅😅.

"Anak ini kok nggak ada rasa takut, khawatir, cemas atau malunya sama sekali mbak... Padahal juga ini baru pertama kali ketemu"

"Herannya, ngobrol apa aja ini anak kok nyambung& tahu"😄

"Padahal katanya nggak sekolah, tapi ditanya apaaa... aja kok bisa njawab" katanya sambil terkekeh-kekeh😄

Dalam batin.
Inilah yang tidak pernah terlihat oleh orang umum pak...
Membangun mental anak2 homeschool itu butuh tahunan.
Ujian mereka juga bukan ujian di atas kertas belaka, melainkan ujian nyata.

Tuesday, November 13, 2018

Gifted (si Cerdas Istimewa), se Unik apakah mereka?

Kalau kamu pernah dengar kata Gifted, apa yang terbayang?

Cerdas Istimewa? Titik. Tanpa embel2?
Oh nikmatnya dunia...

Andai kau tahu, menjadi seorang Gifted itu Ne-long-so.
Apalagi ketika tidak ada satu orang pun yang mau memahamimu, lalu kamu dianggap orang teraneh di dunia.

Kenapa?

Sunday, November 11, 2018

Kalapnya seorang ibu saat tidak paham anak Gifted nya

Ketika seseorang bercerita tentang bagaimana kalapnya menangani anak Gifted nya yang sudah terlanjur berani melawan ibu nya, bahkan guru-gurunya. Lalu saking nggak tahannya si ibu menghadapi itu, terbersit dalam hati ingin menusukkan pisau ke anaknya.

Bukan menghakimi si ibu itu, saya justru flashback ke diri saya ketika melihat masa kecilku yang begitu merepotkan dan suka melawan.

Bukan hanya kakak, tapi juga ibu.

Rasanya sepanjang perjalanan hidup dari SD hingga SMP di rumah, hampir tidak punya kenangan manis apapun kecuali cerita kakakku tentang mereka sendiri dengan saudara-saudaranya.

Sudah dua kali saya diusir dari rumah sama ibu gara-gara bermasalah dengan kakak-kakakku. Benar-benar diusir. Diseret dan didorong keluar pintu, layaknya menyeret orang gila yang tengah menangis.

Itu rasanya sangat-sangat menyakitkan...
Entah yang ke berapa kalinya saat bapak tiba dari mushola, ia selalu datang membangunkanku dg baju basah keringat dan air mata menggigil kacau hendak pergi kemana di pojok pintu depan rumah.

Sempat terbayang minggat dari rumah, tapi mata awas dan pikiranku yang jauh selalu berpikir bahwa jika aku benar2 keluar, mereka bakal tertawa ketika aku menjadi orang gembel di jalanan. Belum lagi pelecehan seks yang harus aku hadapi. Niat minggat berulangkali itu aku urungkan dan berusaha bertahan dengan kebingunganku menjadi diri sendiri yang memang beda dari 11bersaudara.

(Entah di bagian ini aku nggak kuat menahan tangisku, teringat betapa hancurnya perasaanku saat masa-masa berat itu)

Di tengah frustasi itu, rasanya hanya ada Allah dan aku yang paham. Sekalipun mereka bilang bahwa Allah bakal menghukumku satu saat kelak karena kelakuanku itu. Tapi aku percaya, DIA lebih paham aku daripada apa yang mereka tahu tentangku.

Bahkan malam-malam seringkali aku duduk sendiri ngobrol dengan angin dan bintang serta Allah untuk menyelamatkan kehidupanku kelak.

Teman dan sosok fantasi bapak, yakni Allah ini sejenak bisa memberiku harapan dan ketenangan sejenak. Dan mulai menanggalkan harapan cinta dan kasih dari ibu yang lelah tak pernah aku dapat. Bahkan rasa benci dan muak serta dendam itu pun menyelinap perlahan mengalir hingga ke ubun-ubun.

Dua kali juga pernah ditodong pisau sama ibu gara2 melawan perkataannya, yang ku anggap itu benar-benar tidak adil bagiku. Dengan mata melotot yang seolah-olah itu pisau bakal ditusuk ke leherku.
Entah kenapa aku melihat ibu seperti kesetanan melawanku yang dianggap sudah melampaui batas kesabaran.

Saat itu posisiku benar-benar merasa sendiri.
Tidak ada satu orang pun kakak perempuan yg semua berjumlah 6 itu yang membela dan memahami apa yang kumaksudkan.
Karena nyatanya aku merasa orang tua tidak pernah adil memperlakukanku, sekalipun mereka bilang, aku ini sangat menuntut, sangat susah diatur, maunya sendiri.

Masih ingat betul waktu itu maghrib bertengkar hebat dengan kakak, lagi-lagi ujungnya sama. Ibu datang menyalahkan bahwa aku ini anak kecil yang selalu maunya menang sendiri.

Sambil melotot Ibu menjeblokkan kepalaku berulang kali dan menjepit kepalaku ke dinding, sampai aku merasa tempurung otakku sebentar lagi bakal hancur. Mungkin semenjak kepalaku sering dijeblokkan, dijambak, ditoyor sampai sekedar ditampar itulah aku mulai merasakan sering gejala pusing hebat, selain faktor pikiran yang tak pernah berhenti berpikir.

Entah kenapa ibu selalu berbuat seperti itu.
Padahal aku hanya ingin diperlakukan adil, itu saja.
Ingin diperlakukan sama seperti kakak-kakakku. Cukup itu.

Namun rupanya itu tidak pernah aku dapatkan hingga akhirnya harus memilih keluar dari rumah.

Satu-satunya alasan bisa keluar dari rumah neraka itu adalah alasan studi, seperti kakakku yang di pondok.

Bidikanku mendarat di STM Perhutani. STM favorit yang aku tahu saat itu ada di kota Pemalang dekat kota asalku Pekalongan.
Yang terbayang dalam benak pikiranku adalah; ketika aku bekerja di hutan, suasana begitu hening dan nyaman.
Berkawan dengan angin dan pepohonan itu jauh lebih baik daripada berkawan dengan manusia.

Kenapa aku beranggapan demikian?
Karena ketika temanku datang main ke rumah, kakak dan ibu datang menjelek-jelekkan aku dengan berbagai cara. Dan itu, lagi-lagi membuat harga diriku hancur sejak SD. Karena mereka bakalan menganggapku lelucon aneh yang bakal jadi bahan tertawaan di sekolah.

Perlahan namun pasti, kehilangan rasa percaya diri itu mulai menyerang hari-hariku. Bahkan  untuk sekedar bercermin pun aku tak berani menatap wajahku yang ku rasa terlalu buruk dan menyeramkan. Bahkan beberapa foto saat SMP nyaris tak ada foto tersenyum.

Yah! aku anak yang sangat rigid terhadap diri sendiri. Bahkan sangat rigidnya, tak pernah mau menerima surat cinta monyet dari teman lelaki yang saat masa orientasi sekolah menjadi berita heboh di sekolah.  

Sejak itu aku malas jika ada teman main ke rumah, meskipun aku tetap berharap bahwa mereka bakal mengunjungiku dan membuktikan pada mereka, bahwa aku ini tidak seburuk yang mereka kira.

Perkembangan Amira 2-3tahun

Ledakan perolehan kosa kata terjadi dalam waktu satu tahun belakangan pasca kecelakaan di tahun 2021 Maret 28. Yang sebenarnya d...