Suatu hari aku pernah membaca
sebuah artikel dalam milis FLP, entah siapa penulisnya aku lupa.
Yang pada intinya mengatakan
kalau ibu adalah seorang arsitek anak. Aku setuju sekali dengan pendapat itu
Sejak kehamilanku yang pertama
aku niatkan keluar dari pekerjaanku sebagai Editor Junior di sebuah Penerbitan
Yogya untuk mengikuti pertumbuhan anakku sungguh. Meski sebenarnya itu bukanlah
hal yang ringan, melepas sebuah karier yang baru aku tempuh. Apalagi beberapa
teman menawarkanku sebuah pekerjaan yang sama di Jakarta. Itu adalah
Pertarungan yang hebat antara keinginan sebuah ego dan kenyataan yang harus aku
tanggung sebagai calon seorang ibu.
Awalnya kemarahan itu aku
limpahkan pada suamiku yang tak jelas apa masalahnya. “Pokoknya aku ingin
marah!” batinku berontak keras.
Pelan namun pasti, dengan
kesabaran suamiku yang amat sangat, akhirnya aku sadar dan memutuskanku untuk
tidak kembali bekerja. “Terserah mau nulis atau apa, tapi yang jelas tetap dikerjakan
di rumah”.
Satu dua bulan berlangsung, bukan
main BTnya. Hari demi hari dengan kejemuan dan tanpa aktivitas lain kecuali
menunggu suami pulang yang tak tentu jam kerjanya. Waktu itu dia masih bekerja
di sebuah LSM dengan proyek kecil-kecilan dan harus berjuang mati-matian.
Sementara ia sendiri masih disokong oleh orang tuanya setiap bulan, meski kalau
ketahuan, aku pasti marah-marah. Karena terang saja itu bukanlah jalan yang
baik bagi kami sebagai keluarga yang baru mulai merangkak dan tersungkur. Biaya
kehidupan kami selama di Yogya mengandalkan gaji suamiku yang ia tabung waktu
bekerja di LSM Bekasi, yang kebetulan dengan proyek besar. Jadi sebenarnya
kalaupun kami nggak bekerja, satu hingga dua tahun pun kami masih sanggup hidup
dengan gaya sederhana (dalam arti nggak terlalu mepet) dari gaji itu.
Namun rupanya aku ini termasuk
orang yang terlalu cemas karena dengan kondisi seperti itupun aku masih nggak
bisa tenang. Maklum, biaya hidup hanya ditopang oleh suami, (tanpa aku
bekerja). Pikiranpun tentu tak pernah tenang.
Balik ke permasalahan awal. Rasanya
sebuah artikel yang aku baca waktu duduk di bangku kuliah terasa begitu
melekat. Bagaimana kehidupan perempuan di Jepang waktu itu. Selama ia belum
menikah ia akan bekerja. Baru menjelang memiliki momongan ia akan berhenti
total dari pekerjaannya dan mengurus serta mendidik anaknya. Inilah awal
keberhasilan negara kecil namun cepat perkembangannya itu.
Itulah inti dari artikel itu.
Bahwa seorang ibu adalah modal utama keberhasilan sebuah negara yang bermula
dari mendidik sungguh-sungguh anak-anaknya. Dan menjadikan generasi yang unggul
dan menciptakan sebuah perubahan yang signifikan.
Berangkat dari itulah, prinsipku
tertancap. Bahwa seorang ibu, selama suami masih sanggup menyokong keluarganya
ia harus kembali ke rumah dan mengurusi kekokohan dalam rumah tangga itu
sendiri.
Meski pada mulanya suamiku
nadanya menolak pendapatku, karena dorongan hebat keluarganya yang menyuruhku
untuk mendaftarkan diri sebagai seorang guru mengabdi dan kemudian menjadi PNS.
Namun dari sekian perdebatan yang memakan waktu cukup panjang dan alot,
akhirnya suamiku memahami apa yang aku maksudkan dan ia mengiyakan.
Rasanya aneh, meski sebenarnya
pikiranku menolak mentah-mentah untuk menjadi ibu rumah tangga tulen, namun
batinku berontak keras dan memaksaku untuk tetap tinggal di rumah dan mengurus
kekokohan rumah itu sendiri, termasuk mendidik anak-anak. Dan kebiasanku, jika
sudah demikian selalu aku benturkan dengan pendapat orang lain. Dalam hal ini
suamiku. Terjadilah pertikaian hebat. Dan prinsip kami, masalah harus selesai
saat itu juga, meski besok akan diulang lagi perdebatan, namun hari itu juga
harus diakhiri dengan senyuman.
SEJARAH PENAMAAN REKA
Meski jauh sebelum aku menikah
sudah kebayang akan mengisi anakku nantinya semasa dalam kandungan dengan
segudang bacaan, music dan kebiasaan-kebiasaan positif. Namun begitu masuk usia
kehamilan sulitnya bukan main. Tapi ada satu keinginan kuat bagiku saat itu,
yakni senang bukan main dengan tafsiran-tafsiran Al Qur’an tentang jagad raya.
Bahkan meski perjalanan penulisan novelku tentang Luch dan Teka-teki Jagad Raya
tersendat-sendat (hingga sekarang) karena alasan kecemasan dan lain sebagainya.
Namun itu tak mejadikan imajinasiku tentang seorang bocah kecil -yang cerdas
dengan rambut pirang yang bijak dan ramah itu mampu menguak rahasia Jagad Raya
yang tersembunyi dalam ayat-ayat Al Qur’an- lenyap .
Maka dari itulah aku gabungkan
pendapat nama dari suamiku dan aku, jadilah sebuah nama EUREKA LUCH NIRWANA
yang artinya Aku Menemukan Bahasa Surga. Yang aku maknakan sebagai penemuan
sebuah teka-teki dalam AlQur’an tentang penjelasan Jagad Raya. Termasuk logika
bagaimana terjadinya hari kiamat yang terjelaskan dengan sainsnya AL Qur’an.
LUAR BIASA…!!!
CALON ANAK YANG KEDUA
Di usia enam bulan kehamilanku
ini. Entah bagaimana aku senang mendengarkan berita-berita politik, yang aku
anggap itu hanya sebagai having fun aja. Dan saat ini juga aku menulis
sebuah novel dengan tema Komparasi politik Indonesia yang terbagi menjadi 3,
yakni; Islam, Nasionalis dan Komunis.
Dari situ aku berharap ia menjadi
seorang Tata Negarawan(bukan seorang politikus ) yang handal, yang bersumber
dari Al Qur’an juga. Tapi entah sampai sekarang aku belum menemukan satu
madzhab yang cocok, termasuk pandangan dari Syaikh Panji Gumilang dan Soekarno.
Mungkin kedengarannya jauh
jamannya dua orang itu, namun entah bagaimana fillingku mengatakan bahwa Panji
Gumilang adalah sosok negarawan Muslim, sementara Soekarno adalah negarawan
berideologikan Nasionalis, meski dalam sejarahnya dia ingin menggabungkan
Komunis, Islam dan Nasionalis.
Lagi-lagi seperti saat aku hamil
Reka, bahwa bocah kecil itu selalu hidup dalam imajinasiku. Namun kali ini, ia
hidup dalam angan-anganku. Bukan seorang bocah, melainkan cucu seorang
Soekarno, dia adalah seorang mahasiswa Pasca yang tengah tergila-gila dengan
seorang gadis keturunan PKI. Di situ logikaku yang bermain, bukan lagi
imajinasi seperti jamannya aku menggarap novel dengan tokoh anak-anak.
He… he… yang hidup dalam pikiranku
adalah pemerannya seorang Gu Junpyo, pemeran utama dalam film Boys Before
Flowers drama Korea, yang mana pemerannya cantik dan ganteng semua.
Wah! Ga kebayang, seorang
negarawan dengan fisik seperti Gu Junpyo. Hmmm…. Hebat!! Pasti banyak lawan ataupun
kawan yang takhluk dengannya, bukan hanya karena fisiknya, melainkan
kepiawaiannya sebagai seorang negarawan. Ya! Seperti Soekarno, dan aku nggak
berharap dia kan menjadi seorang Playboy kakap seperti beliau.
Hebat!! Di usianya yang masih
belasan, dia (Soekarno) sudah mampu memegang kendali negara yang begitu luas,
sementara Gu Junpyo sudah disuruh pegang kendali perusahaan kelas
Internasional, meski itu warisan dari kakeknya.
Aku berharap anakku yang ada
dalam kandungan ini adalah seorang anak lelaki (namun jikapun perempuan nggak
masalah).
Ahh…! Akhirnya sebuah impian. Ya…
semoga saja bukan sekedar impian. Karena nyatanya Allah benar-benar
mengkaruniakan seorang anak seperti tokoh Luch dalam imajinasi Novelku yang
tertunda itu.
Entah bagaimana jluntrungnya,
saat ini juga aku seneng banget dengar instrument music seperti milik Suzzanne
Cianni dan Secret Garden serta sembarang music dengan instrument Biola.
Harapanku, selain seorang
negarawan dia juga seorang seniman. Yang dalam hal ini aku katakan untuk
melunakkan pikirannya sebagai seorang Negarawan. Dus, jadi dia bukanlah
seseorang yang kaku apalagi kolot, namun dia juga seorang yang memiliki darah
seni untuk mengasah batin dan perasaannya sebagai seorang manusia ciptaan
Allah.
@@@
Ini adalah malam Kamis, dimana
badanku seraya ingin rubuh atau menghempas di atas kasur busa yang empuk dan
lembut, atau… setidaknya tidur di atas kasur gulung selama semalam penuh tanpa
ada yang ganggu. Tapi rasanya itu mustahil.
Anak-anakku seolah berkata,
sedikit lagi, sebentar lagi… Cuma sedikit! Aku ganggu tidur ummi. Sementara
waktu terus berlalu dan berlalu tanpa aku tahu bagaimana harus aku katakan
kalau sebenarnya aku ini amat sangat capek dan ingin tidur.
Hikam Akbar Maulana dari nama
yang aku inginkan Granada Ilham Akbar, tapi akhirnya harus aku tepis ambisiku
dan persilahkan ayahnya untuk memberi nama. Sementara kakaknya Eureka Luch
Nirwana, itu adalah penamaanku 80%.
Hikam, bukan main serunya
hari-hari yang kamu lalui bersama kakak dan ummimu yang terlalu lelah untuk
tetap terjaga dan menulis…
Beda sekali hari-hari yang
Kakakmu lalui. Begitu tenang, damai dan penuh kompromi.
Apa yang ingin kau katakan,
katakanlah Nak… meski ummi capek, dan ayahmu yang akhir-akhir ini selalu
ngantukan karena terlalu capek memburu rupiah-rupiah yang entah berhamburan di
gedung berpilar seram –yang ummi bilang itu adalah tempat para tikus dan kucing
bermain sampah-sampah duniawi-. Bagaimanapun, kita semua nggak bisa mengelak,
karena dari situlah kita semua bisa makan dan tidur beratapkan genting.
Malam ini sepertinya kalian lelah
Nak, setelah seharian seru dengan teriakan dan jungkir balik.
Semoga besok pagi penuh
inspirasi,,