Thursday, March 31, 2016

Sariawan hebat, Karena Depresi Wayang Hilang


Pada hari rabu, tanggal 13 januari 2016 tepatnya ketika Hikam, anak kami yang kedua sudah terlelap dalam tidurnya…. Dikarenakan seringnya dia memegang wyangkulit yang telah kami belikan…tiap bangun tidur dan dari mana pun selalu yang dipegang wayang sambil salah satunya dan seringnya kata yang terrucap adalah “Matio’….

Malam itu, kami berinisiatip untuk menyembunyikan wayang-wayang hikam dan memasukkannya ke dalam almari kursikami yang seringnya berserakan, jarang ditata rapi setelah dimainkan oleh Hikam.

Apa yang terjadi di pagi harinya ketika Hikam bangun tidur….

Sambil berjalan dan seperti orang bingung, hikam berkata “wayang…Wayang…… tanpa menangis…
Reaksi hikam setelah itu adalah sedikit panas dan pada hari Kamisnya mulai ada tanda-tanda sakit di dalam mulutnya….Sariawan…..

Pada hari Jum’atnya setelah sholat Jum’at, kami hantarkan hikam ke sanggar sarotama di Ngringo Jaten karangayar dan hikam dapat latihan dari Pak Mujiono hingga kurang lebih satu jam lamanya dari jam 14.00 sampai dengan jam 15.00 kemudian kami pulang….

Sepulang dari sanggar, di rumah…… sariawan Hikam makin menjadi di ujung lidah ada 3 kiri tengah dan kanan yang paling parah adalah yang paling kanan yang semakin membesar…

Semenjak hari Ahad, Hikam sudah mulai gak mau makan sama sekali, maunya hanya minum es jeruk dan itu yangmembuat umminya hikam kalang kabut, akhirnya kami berempat muter-muter mencari sambal dan tujuan kami pada ayam geprek yang terkenal sambalnya cukup HOT….. sesampai di rumah kami agak sedikit memaksa kepada hikam untuk diolesi sambal ayam geprek tersebut. Penolakan dari hikam pun tak terelakkan sekalipun akhirnya kami berhasil mengoleskan pada lidah hikam dan tangis pun tak terhindarkan….

Namun pada waktu itu juga akhienya aku keluar rumah lagi untuk membelikan Candistatin ri apotik andin yang harganya 44500 yang sebelumnya seringnya aku bilang uangnya kurang…oleh karena kondisi keuangan kami ketika itu kembang kempis menunggu datangnya si mumun yang tak kunjung tiba…..
Alhamdulillah…kata ummi hikam siangnya setelah di kasih sambel pada sore malam harinya, setelah rernang di kartika Hikam mau makan bahkan dengan pedas sekalipun….. dan sambil dirutinkan diolesi candistatin….
Nak…. Semoga kamu mendapatkan pelajaran ya….bahwa sariawan itu sebenarnya obatnya adalah cabe…, garam….. SAMBEL……

Monday, March 21, 2016

Totto Chan dan Penanganan Sosialisasi Hikam





Masih ada yang ingat dengan cerita Totto Chan?
Dulu sampai2 ingin sekali sekolah lagi ambil jurusan sastra anak.

Dan bacaan inilah pertama kalinya yg menyeretku ke dunia anak2. Bukan dunia orang dewasa yg "semestinya".

# Berkaca dari buku ini untuk melihat Hikam #

Terkadang memang pusing mikir ni anak kok nggak sama dengan anak-anak lainnya, sulit dikendalikan, kalo ngamuik juga nggak ketulungan bikin sesek dada.

Semalem waktu kita pulang dari sanggar, kita berhenti di SPBU. Kali ini aku mulai berani melepas dia tanpa pengawasan, kecuali ku gunakan reka sebagai penjaga biar nggak nglayap kemana-mana seperti waktu kira-kira 6bulan yang lalu. Tepatnya mungkin semenjak dia ku masukkan ke sanggar, dan enjoy dengan dunia pedalangan.

Kurang lebih 5menit ku tinggal sholat, Reka cepet-cepet wudhu. mulai khawatir juga. Tapi dalam hati, aku yakin "kamu nggak bakal ngelayap kemana-mana lagi le..."
Bukannya karena ada kucing di situ, dia jadi heboh. Tapi ada bapak-bapak juga yang bikin dia ada interaksi "meskipun entah apa yang dia katakan si om itu dia paham atau enggak, dan si om itu paham dialog Hikam juga atau enggak. Nggak peduli lagi aku. Yang penting terjadi komunikasi sambil cekikian main kucing"

Dari sini sempat kepikiran buku Totto Chan ini, bagaimana di kelas itu ada beberapa orang anak yang tidak sempurna secara fisik. Tapi Totto Chan tetap enjoy bermain dengan anak-anak itu. Bahkan kalo nggak salah, ada sebuah adegan yang menggambarkan Totto Chan mensupport anak terkena Polio itu manjat pohon. Mungkin kalo orang dewasa yang melihatnya, ini sesuatu yang sangat membahayakan. Tapi aku benar-benar salut dengan sosok Totto Chan ini.

Begitu pula aku mulai melonggarkan dan mengendurkan urat sarafku mengatasi bagaimana Hikam ini berinteraksi dengan banyak orang. Meski tentu dengan pengawasan yang nggak sering bikin gigit jari.

Secara alami dia bertemu dengan orang-orang yang nggak mau memahami dan mau memahami dia, Bertemu kejadian yang tidak mengenakkan seperti tempo beberapa hari yang lalu dua anakku ini pulang nangis kejer semua masuk rumah.

Aku dengar dari luar dia ada yang nge bully dengan omongan yang nggak enak. Awalnya Hikam yang jerit-jerit histeris, berubah jadi tangisan. dan beberapa menit kemudian dia keduanya nangis rame sambil ada yang dobrak-dobrak pintu dari luar. Karena itu sudah nggak enak, aku keluar.

Ada seorang anak lelaki seusia Hikam yang sama omongannya mungkin lebih parah dari Hikam. Tapi kalo dia, lebih pada artikulasi kata. Beda dengan Hikam yang lebih cenderung pada parahnya susunan kata menjadi kalimat. Meski begitu dia ini tipikal anak pemberani. Bahkan dia yang sering cari-cari Reka ajak main keluar.

Di lingkunganku, Reka ini emang tipikal anak yang mudah bergaul, sering dicari anak-anak usia di bawahnya atau sebaya, meski begitu dia itu sensitif. Jadi sering aja pulang-pulang nangis.

Kali ini dia nggak cukup nangis lalu masuk rumah begitu saja.
Sambil nangis kejer dia bilang "Lha aku mau minta maaf nggak boleh"
Dasarnya si emak,
"Nggak boleh ya sudah, pulang aja masuk rumah"
"Tapi nanti aku nggak punya teman"
Sampai detik ini aku mikir.
"Ya kalo tetep mau main jangan nangis. Kalo mereka nakal, balas. Kalo nggak mau balas, omongi baik-baik. Kalo tetep nggak bisa ya pulang saja"
"Tapi nanti aku nggak punya teman,"
"Kan ada adek"
"Ya masak cuman adek"

"Ya sudah, mau keluar, apa mau masuk rumah?" tanyaku ku pertegas. Kelamaan pula, keburu dengan kerjaan rumah.

"Main,"
"Ya sudah main, tapi jangan nangis."
"Tapi sama adek..."
"Ayo dek, mau main sama mbak reka nggak?"
Nggak lama keduanya ngelap wajah dengan wajahnya yang masih lengket, keduanya kembali keluar. Di luar sepi, nggak ada anak-anak lagi. Mungkin saja karena tangisan kedua anakku ini mereka pada masuk rumah.

Selang berapa menit kemudian, anak laki-laki seusia Hikam ini datang lagi senyum-senyum :D
"Aku minta maaf" kata Reka.

dan entah apa yang terjadi kemudian, begitu pintu depan ku tutup, keduanya lari cekikikan lagi.

Ahhh.... dunia anak. Sesulit dan se rumit apapun karaktermu. Kau ini tetap anak-anak yang unyu :D

Anak-anak dan Perdamaian Dunia


    Lagu fav ini selalu mengusikku, seolah mengingatkan akan arti pentingnya sosok anak-anak yang seharusnya tumbuh dan berkembang secara alami tanpa campur tangan orang dewasa.
    Membayangkan canda tawa mereka sepanjang hari, berbagi dan bekerja sama itu mungkin lebih penting untuk masa depan perdamaian dunia ini, dibanding sebuah perhelatan kemampuan dalam sebuah ajang kompetisi, yang menjadikan mereka punya nafsu untuk selalu menang dan mengalahkan lawan satu dengan yang lainnya.
    Itu yang ku pelajari beberapa hari ini dari sosok Reka yang lebih suka berteman dan bermain, dimanapun dan kapanpun ia berada. Bahkan kadang nggak begitu peduli betapa juteknya anak-anak yang ditemuinya di berbagai tempat umum.
    Waktu hamilnya dulu (setelah resign dari lembaga perlindungan anak-anak jalanan), aku merasa ada tugas untuk merengkuh anak-anak di seluruh dunia yang terkena imbas dari ego orang dewasa, seperti peperangan, perceraian serta konflik di seluruh penjuru dunia lainnya.
    Membayangkan meiliki sosok anak yang memiliki rasa kepedulian yang tinggi. Nggak perlulah seperti anak-anak pembela HAM dan lain sebagainya yang berjuang di depan orang dewasa meneriakkan perdamaian dan kemerdekaan hidup.
    Cukup seperti Totto Chan yang baik hati, mau menolong sesama, membuat suasana lebih kondusif dan positif, yang berimbas seperti dalam lagu ini.
    Senjata membeku,
    Tentara bernyanyi
    Ikuti tingkahmu
    Tak ada lagi Naluri menguasai
    Perlahan berganti naluri berbagi
    Langit berpeluk
    Bintang bertepuk dengan sentuhanmu
    Kelak jika kau jadi pemimpin,
    Berikan hak mereka bebas dari rasa takut dan tertindas
    Huueemmmm.... indah sekali membayangkannya.
    Betapa anak-anak ini sebenarnya selalu memberikan pelajaran kita sepanjang hari, jika mau memperhatikan, dan jika diberikan kebebasan tumbuh dan berkembangn secara alami tanpa kompetisi.
    ‪#‎Pelajaran‬ ini juga ku dapat dari fakta anak-anak Gifted yang selalu menghindar dari ajang kompetisi, meskipun sebenarnya mereka mampu dan bisa lebih dari yang mereka miliki#
    ‪#‎Maafkan‬ ummi mbak Reka... Semoga kelak kau membaca tulisan ini dan tetap menjaga semangatmu untuk berkawan dan bermain dengan siapapun#
    Sinari dan Ceriakanlah anak-anak di seluruh dunia dengan segala kemampuan yang kau miliki kelak. Karena mereka adalah masa depan perdamaian dunia.
    #maafkan ummi dan ayah mbak Reka... dari segala sisi egonya sepanjang hari, semoga kelak kau lebih baik dari kami berdua#

Sunday, March 20, 2016

Genius yang GOBLOK

Aku hanya ingin cerita bagaimana sulitnya seorang "aku" menjalani Hidup.
Sebenarnya ini bukan ajang curhat, atau keluh kesah. Lebih dari itu saya ingin menyampaikan pada seluruh orang tua di dunia untuk sedikit memahami bagaimana rasanya dihujat dan di caci maki, apalagi di depan orang lain. Yang akhirnya berdampak bukan hanya pada diri si anak itu sendiri, melainkan orang-orang di sekelilingnya SEPANJANG HIDUPnya.

Mengapa sepanjang hidup??
Ini aku alami hingga detik ini, bagaimana sulitnya menghadapi diri saya sendiri yang memiliki cara pandang berbeda dari keumuman orang. Bagaimana saya bisa hidup di masa sekarang, yang lalu dan masa depan dalam satu waktu.

Dalam berkeluarga pun demikian. Aku sering bilang dan mewanti-wanti pada suami akan suatu hal yang filling saya itu akan terjadi. Tapi terkadang suami justru tak menghiraukan kata-kata itu, yang ujungnya banyak hal yang terjadi dan membuatnya menyesal. Begitu juga untuk memprediksikan dari masa yang akan datang, saya sering belajar dari masa lampau. Seperti penanganan duo anakku yang punya kemampuan luar biasa, tapi menurutku itu biasa-biasa saja, dan terkesan anakku ini agak terlambat.

Mungkin beberapa orang juga pernah mengalami hal yang sama, yakni merasa akan ada sesuatu yang terjadi.   Dari pelajaran yang saya pelajari, ini adalah semacam resonani pikiran kita yang seakan membawa kita pada kenyataan. Awalnya pun suami bilang seperti itu. Tapi pada kenyataannya, isyarat itu justru lewat mimpi, ataupun firasat.

Seperti kenyataan yang terjadi ketika aku selesai kuliah.
Jauh sebelum saya wisuda S1, dalam diriku kuat bilang. Selesai kuliah, kamu harus hengkang dari rumah orang tuamu. Karena bakal ada kejadian yang mungkin tidak disangka-sangka yang membuatmu harus keluar dari rumah. Waktu itu, memang di rumah suasana selalu panas. Perseteruan antara anak dari ibu pertama (yang sudah meninggal sebelum bapak nikah lagi) dengan ibu kedua, yakni ibuku.

Bagaimanapun pedihnya mendengar hujatan orang tua dan kakak, tapi aku nggak peduli. Bahkan aku sudah bingung mau cari beasiswa untuk S2.
Tapi kenyataannya, kondisi di luar makin mencekikku, dan aku merasa hidup ini begitu melelahkan untuk bertarung sendirian. Dan Allah pun akhirnya mempertemukan dengan seorang lelaki yang penyayang dan sabar.
Itulah awal pertama kali aku bisa bersandar pada orang lain sepanjang hidup. Tak lagi mempertaruhkan segalanya demi untuk hidup.




Tuesday, March 15, 2016

Ibu Adalah Arsiteknya Anak


Suatu hari aku pernah membaca sebuah artikel dalam milis FLP, entah siapa penulisnya aku lupa.
Yang pada intinya mengatakan kalau ibu adalah seorang arsitek anak. Aku setuju sekali dengan pendapat itu  
Sejak kehamilanku yang pertama aku niatkan keluar dari pekerjaanku sebagai Editor Junior di sebuah Penerbitan Yogya untuk mengikuti pertumbuhan anakku sungguh. Meski sebenarnya itu bukanlah hal yang ringan, melepas sebuah karier yang baru aku tempuh. Apalagi beberapa teman menawarkanku sebuah pekerjaan yang sama di Jakarta. Itu adalah Pertarungan yang hebat antara keinginan sebuah ego dan kenyataan yang harus aku tanggung sebagai calon seorang ibu.
Awalnya kemarahan itu aku limpahkan pada suamiku yang tak jelas apa masalahnya. “Pokoknya aku ingin marah!” batinku berontak keras.
Pelan namun pasti, dengan kesabaran suamiku yang amat sangat, akhirnya aku sadar dan memutuskanku untuk tidak kembali bekerja. “Terserah mau nulis atau apa, tapi yang jelas tetap dikerjakan di rumah”.
Satu dua bulan berlangsung, bukan main BTnya. Hari demi hari dengan kejemuan dan tanpa aktivitas lain kecuali menunggu suami pulang yang tak tentu jam kerjanya. Waktu itu dia masih bekerja di sebuah LSM dengan proyek kecil-kecilan dan harus berjuang mati-matian. Sementara ia sendiri masih disokong oleh orang tuanya setiap bulan, meski kalau ketahuan, aku pasti marah-marah. Karena terang saja itu bukanlah jalan yang baik bagi kami sebagai keluarga yang baru mulai merangkak dan tersungkur. Biaya kehidupan kami selama di Yogya mengandalkan gaji suamiku yang ia tabung waktu bekerja di LSM Bekasi, yang kebetulan dengan proyek besar. Jadi sebenarnya kalaupun kami nggak bekerja, satu hingga dua tahun pun kami masih sanggup hidup dengan gaya sederhana (dalam arti nggak terlalu mepet) dari gaji itu.
Namun rupanya aku ini termasuk orang yang terlalu cemas karena dengan kondisi seperti itupun aku masih nggak bisa tenang. Maklum, biaya hidup hanya ditopang oleh suami, (tanpa aku bekerja). Pikiranpun tentu tak pernah tenang.
Balik ke permasalahan awal. Rasanya sebuah artikel yang aku baca waktu duduk di bangku kuliah terasa begitu melekat. Bagaimana kehidupan perempuan di Jepang waktu itu. Selama ia belum menikah ia akan bekerja. Baru menjelang memiliki momongan ia akan berhenti total dari pekerjaannya dan mengurus serta mendidik anaknya. Inilah awal keberhasilan negara kecil namun cepat perkembangannya itu.
Itulah inti dari artikel itu. Bahwa seorang ibu adalah modal utama keberhasilan sebuah negara yang bermula dari mendidik sungguh-sungguh anak-anaknya. Dan menjadikan generasi yang unggul dan menciptakan sebuah perubahan yang signifikan.  
Berangkat dari itulah, prinsipku tertancap. Bahwa seorang ibu, selama suami masih sanggup menyokong keluarganya ia harus kembali ke rumah dan mengurusi kekokohan dalam rumah tangga itu sendiri.
Meski pada mulanya suamiku nadanya menolak pendapatku, karena dorongan hebat keluarganya yang menyuruhku untuk mendaftarkan diri sebagai seorang guru mengabdi dan kemudian menjadi PNS. Namun dari sekian perdebatan yang memakan waktu cukup panjang dan alot, akhirnya suamiku memahami apa yang aku maksudkan dan ia mengiyakan.
Rasanya aneh, meski sebenarnya pikiranku menolak mentah-mentah untuk menjadi ibu rumah tangga tulen, namun batinku berontak keras dan memaksaku untuk tetap tinggal di rumah dan mengurus kekokohan rumah itu sendiri, termasuk mendidik anak-anak. Dan kebiasanku, jika sudah demikian selalu aku benturkan dengan pendapat orang lain. Dalam hal ini suamiku. Terjadilah pertikaian hebat. Dan prinsip kami, masalah harus selesai saat itu juga, meski besok akan diulang lagi perdebatan, namun hari itu juga harus diakhiri dengan senyuman.
SEJARAH PENAMAAN REKA
Meski jauh sebelum aku menikah sudah kebayang akan mengisi anakku nantinya semasa dalam kandungan dengan segudang bacaan, music dan kebiasaan-kebiasaan positif. Namun begitu masuk usia kehamilan sulitnya bukan main. Tapi ada satu keinginan kuat bagiku saat itu, yakni senang bukan main dengan tafsiran-tafsiran Al Qur’an tentang jagad raya. Bahkan meski perjalanan penulisan novelku tentang Luch dan Teka-teki Jagad Raya tersendat-sendat (hingga sekarang) karena alasan kecemasan dan lain sebagainya. Namun itu tak mejadikan imajinasiku tentang seorang bocah kecil -yang cerdas dengan rambut pirang yang bijak dan ramah itu mampu menguak rahasia Jagad Raya yang tersembunyi dalam ayat-ayat Al Qur’an- lenyap .
Maka dari itulah aku gabungkan pendapat nama dari suamiku dan aku, jadilah sebuah nama EUREKA LUCH NIRWANA yang artinya Aku Menemukan Bahasa Surga. Yang aku maknakan sebagai penemuan sebuah teka-teki dalam AlQur’an tentang penjelasan Jagad Raya. Termasuk logika bagaimana terjadinya hari kiamat yang terjelaskan dengan sainsnya AL Qur’an.
LUAR BIASA…!!!
CALON ANAK YANG KEDUA
Di usia enam bulan kehamilanku ini. Entah bagaimana aku senang mendengarkan berita-berita politik, yang aku anggap itu hanya sebagai having fun aja. Dan saat ini juga aku menulis sebuah novel dengan tema Komparasi politik Indonesia yang terbagi menjadi 3, yakni; Islam, Nasionalis dan Komunis.
Dari situ aku berharap ia menjadi seorang Tata Negarawan(bukan seorang politikus ) yang handal, yang bersumber dari Al Qur’an juga. Tapi entah sampai sekarang aku belum menemukan satu madzhab yang cocok, termasuk pandangan dari Syaikh Panji Gumilang dan Soekarno.
Mungkin kedengarannya jauh jamannya dua orang itu, namun entah bagaimana fillingku mengatakan bahwa Panji Gumilang adalah sosok negarawan Muslim, sementara Soekarno adalah negarawan berideologikan Nasionalis, meski dalam sejarahnya dia ingin menggabungkan Komunis, Islam dan Nasionalis.
Lagi-lagi seperti saat aku hamil Reka, bahwa bocah kecil itu selalu hidup dalam imajinasiku. Namun kali ini, ia hidup dalam angan-anganku. Bukan seorang bocah, melainkan cucu seorang Soekarno, dia adalah seorang mahasiswa Pasca yang tengah tergila-gila dengan seorang gadis keturunan PKI. Di situ logikaku yang bermain, bukan lagi imajinasi seperti jamannya aku menggarap novel dengan tokoh anak-anak.
He… he… yang hidup dalam pikiranku adalah pemerannya seorang Gu Junpyo, pemeran utama dalam film Boys Before Flowers drama Korea, yang mana pemerannya cantik dan ganteng semua.
Wah! Ga kebayang, seorang negarawan dengan fisik seperti Gu Junpyo. Hmmm…. Hebat!! Pasti banyak lawan ataupun kawan yang takhluk dengannya, bukan hanya karena fisiknya, melainkan kepiawaiannya sebagai seorang negarawan. Ya! Seperti Soekarno, dan aku nggak berharap dia kan menjadi seorang Playboy kakap seperti beliau.
Hebat!! Di usianya yang masih belasan, dia (Soekarno) sudah mampu memegang kendali negara yang begitu luas, sementara Gu Junpyo sudah disuruh pegang kendali perusahaan kelas Internasional, meski itu warisan dari kakeknya.
Aku berharap anakku yang ada dalam kandungan ini adalah seorang anak lelaki (namun jikapun perempuan nggak masalah).
Ahh…! Akhirnya sebuah impian. Ya… semoga saja bukan sekedar impian. Karena nyatanya Allah benar-benar mengkaruniakan seorang anak seperti tokoh Luch dalam imajinasi Novelku yang tertunda itu.
Entah bagaimana jluntrungnya, saat ini juga aku seneng banget dengar instrument music seperti milik Suzzanne Cianni dan Secret Garden serta sembarang music dengan instrument Biola.
Harapanku, selain seorang negarawan dia juga seorang seniman. Yang dalam hal ini aku katakan untuk melunakkan pikirannya sebagai seorang Negarawan. Dus, jadi dia bukanlah seseorang yang kaku apalagi kolot, namun dia juga seorang yang memiliki darah seni untuk mengasah batin dan perasaannya sebagai seorang manusia ciptaan Allah.
@@@
Ini adalah malam Kamis, dimana badanku seraya ingin rubuh atau menghempas di atas kasur busa yang empuk dan lembut, atau… setidaknya tidur di atas kasur gulung selama semalam penuh tanpa ada yang ganggu. Tapi rasanya itu mustahil.
Anak-anakku seolah berkata, sedikit lagi, sebentar lagi… Cuma sedikit! Aku ganggu tidur ummi. Sementara waktu terus berlalu dan berlalu tanpa aku tahu bagaimana harus aku katakan kalau sebenarnya aku ini amat sangat capek dan ingin tidur.
Hikam Akbar Maulana dari nama yang aku inginkan Granada Ilham Akbar, tapi akhirnya harus aku tepis ambisiku dan persilahkan ayahnya untuk memberi nama. Sementara kakaknya Eureka Luch Nirwana, itu adalah penamaanku 80%.
Hikam, bukan main serunya hari-hari yang kamu lalui bersama kakak dan ummimu yang terlalu lelah untuk tetap terjaga dan menulis…
Beda sekali hari-hari yang Kakakmu lalui. Begitu tenang, damai dan penuh kompromi.
Apa yang ingin kau katakan, katakanlah Nak… meski ummi capek, dan ayahmu yang akhir-akhir ini selalu ngantukan karena terlalu capek memburu rupiah-rupiah yang entah berhamburan di gedung berpilar seram –yang ummi bilang itu adalah tempat para tikus dan kucing bermain sampah-sampah duniawi-. Bagaimanapun, kita semua nggak bisa mengelak, karena dari situlah kita semua bisa makan dan tidur beratapkan genting.
Malam ini sepertinya kalian lelah Nak, setelah seharian seru dengan teriakan dan jungkir balik.
Semoga besok pagi penuh inspirasi,,

Riwayat Kelahiran Reka





Ia lahir dengan bobot 28 gram dan panjangnya 48cm. Mungkin itu ukuran cukup dibanding bayi-bayi yang lainnya. Tapi ada satu hal yang menarik dan ajaib bagiku sejak kelahirannya.
Waktu dia keluar dari rahimku, dia nangis hanya sekali. Setelah itu tak terdengar lagi suara tangisnya. Entah itu isyarat apa aku kurang begitu paham. Hingga ketiga harinya dia nangis dengan suara yang hanya terisak-isak saja, tanpa mengeluarkan suara dengan bibir yang tergetar. Tentu saja ini membuat keluargaku khawatir meski mereka nggak mengatakannya padaku, namun dari desas-desus aku paham kalau mereka mengkhawatirkan dia.

Sore itu suamiku pamit untuk berangkat kuliah ke Yogya, awalnya aku berat. Namun kupikir-pikir dan dengan penguatan spiritnya terhadapku, aku pun melepaskannya berangkat.

Namun malam harinya ia (si Mungil) demam tinggi tanpa mengeluarkan suara tangis sedikitpun meski bibirnya terus tergetar isyaratkan tangis. Bingungnya setengah mati aku waktu itu, namun aku redamkan sendiri. Sementara terlihat mata ibu bengkak menangis duduk di depan bersama kakakku. Aku masih redamkan dan berusaha tenangkan sikapku, meski pikiranku kacau kemana-mana.

Saat itu juga aku telpon suamiku yang sedang dalam perjalanan menuju Yogya. Padahal hujan deras bukan main yang disertai petir dan halilintar yang terus-menerus menggelepar.

Ketika ku telpon, suamiku dalam perjalanan menuju tempat kuliah sampai di Weleri (biangan masjid dan pasar). Suamiku ke Jogja berboncengan dengan mas Yusuf dengan sepeda ms. Yusuf… dia putuskan untuk kembali ke rumah meski kondisi hujan lebat diserati etir halilintar….
Begitu suamiku tiba di rumah, anehnya selang berapa menit demamnya reda...

Beda halnya dengan mertuaku (ibu) yang waktu menungguku tidur, ia justru mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad waktu pukul setengah satu malam. Entah isyarat apa, namun yang jelas beberapa minggu kemudian suamiku ketrima sebagai pegawai negri Sipil di Pengadilan Agama yang dibawah atap Mahkamah Agung. Bukan main aku kagetnya menerima berita itu, yang kebetulan ada sebuah SMS masuk ke handphon suamiku malam hari. Awalnya aku nggak percaya, karena hanya ucapan selamat. Malam itu juga aku suruh cek di situs MA oleh keponakanku yang kebetulan bekerja di Warnet di Jakarta.

Kurang lebih baru di usia 8-9 bulan Reka baru bisa mengangis dengan suara keras. Saat itulah perasaanku lega, meski begitu omongan orang terus mengalir, “Bayi kok ga bisa nangis… dsb”

Hingga baru berusia satu tahun aku mulai lega karena telah pisah dengan mertua. Menurutku omongan mertua banding-bandingkan cucunya dengan cucu kesayangannya itu wajar, dan itu terus membuatku terus tertekan. Karena tiap kali Posyandu, kenaikan berat badannya paling hanya satu sampai dua ons. Dengan segudang masalah, apalagi suamiku yang menurut mereka (kalau belum PNS) nggak dianggap kerja beneran. Bukan main beban yang ku tanggung. Meski begitu suamiku termasuk orang yang sabar bukan kepalang menghadapi pandangan kolot kedua orang tuanya yang selalu meminta kehendaknya terus dituruti, dengan dalih demi masa depan keluarga kami.

Kami pindah ke kontrakan yang kurang lebih satu jam perjalanan dari rumah mertuaku, itu membuatku lega. Apalagi suamiku yang sudah berani ambil sikap untuk protek dari segala campur tangan kelurganya terhadap keluarga kami. Itu membuatku lega. Entah berapa tambah berat badan Reka satu bulan kemudian, namun rasanya begitu berat dibanding kepergian kami dari rumah mertua yang (meskipun kebutuhan materi semua terpenuhi) tapi seperti balita kurang gizi benar.

Dari situ dapat ku tarik kesimpulan, bahwa ternyata ketenangan serta kenyamanan seorang ibu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan balita. Meski masuk bulan ke empat belas di usia Reka, aku mulai menyapihnya. Kurang lebih hanya satu minggu dia rewel minta nenen (terutama hendak tidur), tapi di hari berikutnya ia mau bermain seperti biasanya. Dan di bulan berikutnya, ia baru mau mulai minum susu formula secara rutin. Bahkan di bulan berikutnya susu setengah kilo habis dalam waktu hanya empat hari.

Semula kami khawatir karena kemudian selain pipisnya sering sekali, (kadang sehari hampir nyampai 20 potong celana) BABnya jadi nggak begitu lancar karena sulit makan.

Pelan namun pasti, ia menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Diantaranya dia mulai bisa berjalan di usianya 13 bulan.

Aku pikir, pertumbuhannya sedikit terhambat karena seringnya kami bepergian dengan kendaraan bermotor model Honda Astrea yang pir penyangganya nggak begitu kuat seperti Honda-honda keluaran baru.

Diantaranya waktu usia enam bulan, kami pernah mengajaknya pergi ke Yogya yang kurang lebih waktu normal ditempuh dalam waktu 2 jam. Namun karena membawa dia, jadi waktu terulur hingga empat jam. Itu dalam rangka ikut suamiku yang kuliah setiap sabtu minggu di Pasca UII.

Menurutku ia bayi yang ramah, karena begitu tiba di kontrakan temanku yang kebetulan memang rumahnya safe dengan kondisi bayi. Ia langsung akrab dengan teman-temanku dan menyapanya dengan senyuman.
Begitu pula waktu masuk usia 10 bulan. Ia ku ajak kembali ke Yogya dengan sepeda motor. Kali ini dengan sepeda motor iparku, yang masih baru dengan jok yang jauh lebar dan tinggi ketimbang motor kami sendiri.
Meski begitu, fisiknya aku bilang kuat. Karena sejak usia enam bulan yang berturut-turut pulang ke Pekalongan yang kurang lebih memakan waktu 7-8 Jam dan Yogya yang kurang lebih memakan waktu 2 jam jika dengan kereta dan motor bisa sampai 4-5 jam, sampai usia 15 bulan kurang lebih 4 kali ke Pekalongan dan hampir enam kali ke Yogya. Namun kondisinya tetap fit, meski akibatnya badannya nggak bisa montok seperti bayi-bayi lainnya. Meskipun bobotnya bertambah dan tingginya bertambah, namun tetap saja terlihat langsing.

Pengalaman Buruk Sekolah Reka


Waktu kehamilanku untuk anak yang ke dua menginjak usia enam bulan. Terpaksa Reka aku sekolahkan, bagiku ini memang sekolah… bukan sekedar penitipan anak. Dan aku memang berharap demikian karena meskipun terkadang keberadaan Reka di saat kehamilan ini benar-benar beban berat bagiku.

Hari pertama dia masuk –begitu keluar dari ruang pendaftaran- dia mulai enjoy melihat teman-temannya bermain ke sana kemari. Dan ia mulai lari masuk ke area sekolah karena dia tertarik banyak permainan di sana, diantaranya kursi berputar. Pertama kali dia naik ke kursi berputar, sudah dua anak perempuan yang menyambanginya dan ikut masuk dalam kursi berputar. Meski nadanyanya dia sedikit enggan, dia mulai menatap dua orang temannya dan tersenyum saat aku putar mainan itu.

Entah berapa lama dia sudah mulai berlari-larian ke sana kemari sendiri. Dengan begitu percaya dirinya dia keluar masuk ruang aktivitas di dalam. Giliran aku yang mulai bosan, karena melihat Reka yang terus dan terus berjalan tiada henti. Dan selalu tersenyum saat melihatku meski nggak selalu begitu dia nempel di pangkuanku. Terkadang, bahkan sesekali dia nempel di pangkuan guru-gurunya.

Hingga siang hari, ia berjalan tiada henti. Dan ia tetap terjaga meski teman-temannya terlelap tidur siang.
Begitu masuk hari ke dua dengan suamiku, waktu turun dari motor, dia langsung lari ke tempat mainan. Dan begitu hingga hari ke tiga.

Tapi begitu masuk minggu ke dua, dia jatuh sakit. Panas, batuk dan pilek. Saat itu aku hentikan masuk sekolah.

Kami sudah mengira kalau mesti akan terjadi sesuatu saat dia masuk kembali karena dia sudah merasa  harus berkenalan dengan situasi baru lagi, tanpa aku maupun suamiku di sisinya. Aku merasa, ini bukan lagi kawasan yang nyaman lagi untuknya.

 Saat itulah terjadi pertempuran hebat antara suamiku dan anakku. Dia nangis keras menolak untuk ditinggal. Meski gurunya memberot Reka dan secepat itu masuk, namun suamiku tetap mengikutinya –tentu dengan tangis yang begitu hebat-, hingga ia harus mencium pipinya ajak pamitan, dengan dialog meski hanya beberapa menit yang belum tentu anakku pahami.

Suamiku sengaja masuk ke dalam mengejar anakku yang waktu itu nangis kejer. Dia sengaja lakukan itu untuk sedikit memahamkan kondisi yang akan ia hadapi nantinya di sekolah, meski lagi-lagi dia belum mengerti ataupun berbicara. Kami sepakat demikian, setidaknya terbangun kontak batin antara orang tua dan anak. Itulah yang sejak awal kami tanamkan dalam keluarga kami.

Mungkin itu kebiasaan kami dalam memecahkan masalah berdua. Meski dalam perselisihan keluarga kerapkali terjadi harus terjadi dengan adu mulut. Tapi kami mengkharamkan untuk berpisah selagi masalah belum terselesaikan. Dan kami terus belajar memahami dan mengerti serta tetap menyayangi satu sama lain. Dan permasalahn saat itu, harus selesai saat itu juga. Meski kerapkali suamiku harus terlambat masuk kantor ataupun masuk kampus. Baginya keutuhan keluarga harus tetap terjaga, karena jika tidak itu akan membawanya kemanapun ia pergi.

Itulah yang hendak kami terapkan pada anak-anak kami nantinya. Meski pergulatan diantara kami berdua dengan anak sering terjadi, namun itu harus berakhir dengan senyuman. Setidaknya kata maaf, ataupun pengertian. Meski lagi-lagi dia belum bisa untuk diajak bicara.

Sudah tiga hari Reka masuk ke Tempat Penitipan Anak, -yang aku kasih istilah Sekolah- (lagi-lagi nggak ada niatku untuk menitipkan, apalagi menjauhkan anak-anakku dariku. Karena terang saja itu terlalu berat) dengan raungan tangis yang hebat untuk menolak ditinggalkan suamiku yang sekaligus hendak berangkat ke kantor.

Sejak itu kami terus berpikir tentang sesuatu yang harus kami lakukan. Bagi kami, ini nggak bisa dibiarkan terus menerus begitu. Meski gurunya bilang, anak baru, selalu akan menangis begitu.

Dari kejadian itu, aku berkaca pada pengalamanku sendiri, yang beberapa tahun trauma masuk sekolah, karena pertama, aku harus jauh dari orang tua, kedua, ada beberapa anak yang menjahiliku.

Hari keempatnya aku antarkan dia masuk sekolah, tentu saja bareng dengan suamiku yang sekalian masuk kerja.

Begitu motor mulai melaju masuk gerbang sekolah, mulai nampak kekhawatiran di rautnya. Kekhawatirannya terlalu jelas saat di depan ruang pendaftaran, hingga berakhir dengan pecah tangisnya yang terlalu dalam dan terdengar begitu menyayat hati. Ia terus menunjuk-nunjuk keluar pintu sekolah, yang kebetulan seberang jalan juga sekolah SD. Saat itu pertarungan batinku bergolak, antara harus bersikap atau menuruti permintaannya.

Aku pikir, meski sikapku lunak, aku harus punya sikap. Ini demi kebaikannya sendiri.
Hampir tiga puluh menit aku gendong dia -dengan kondisi perut yang terlihat membuncit- dan berdiri di sana melihat lalu lalang kendaraan bermotor. Kini matanya terlihat sayu, meski aku yakin batinnya terus memberontak untuk diajak masuk ke area sekolah yang menjadikannya tetap terjaga.

Saat itu aku gendong dia memasuki gerbang, dan bukan main tangisnya. Bukan tangis marah, melainkan tangis rasa sakit yang begitu dalam. Dan ia terus menunjuk-nunjuk keluar. Ia tak memberontak, melainkan tangisan yang menyedihkan. Apalagi melihat para wali murid datang dan pergi mengantarkan anak-anaknya.
Aku pangku dia dalam dekapan, duduk di depan ruang pendaftaran. Meski beberapa kali ia masih terlihat menangis, namun aku biarkan dia melihatnya. Aku ingin, ia merasa terbiasa, dan nggak akan terjadi sesuatu yang menyakitkan jika para wali itu datang dan pergi. Kurang lebih seperempat jam aku memangkunya dan mendengarkan tangisnya. Tapi perasaanku mengatakan itu terlalu buruk, jika terus ku perlihatkan orang tua yang datang dan pergi mengantarkan anak-anaknya.

Saat itu beberapa anak mulai terlihat berlarian main ke sana kemari. Saat itupula aku mulai ajak dialog untuk sekedar ambilkan susu untuknya, yang kebetulan tas itu ku letakkan di deretan kursi tunggu wali murid di pinggir pintu masuk halaman bermain. Dan iapun menurutiku berdiri, meski tetap menangis.
Perlahan aku ajak dia masuki halaman sekolah. Tapi rupanya dia belum mau turun, hingga rutinitas senam pagi dia masih terlihat sesekali menangis. Entah apa yang terlintas dalam pikirannya hingga sesekali ia masih terlihat menangis dan diam melihat teman-temannya ikut senam.

Awalnya dia mau turun dari kursi tunggu wali murid, yang sesekali masih memegang bajuku. Tapi sesekali ia mau beranjak meski satu dua langkah dan balik lagi memegang bajuku dengan sedikit senyum-senyum.
Entah kejadian itu berlangsung berapa lama, namun nampaknya ia mulai terlihat menikmati suasana yang mulai ramai teman-temannya yang bertebaran main kemana-mana.  

Hari kedua pun berakhir sama, ia masih terlihat menangis waktu suamiku menghentikan motornya di depan halaman sekolah, tapi itu nggak berlangsung lama karena tangisnya pun segera berhenti. Selang berapa lama aku ambilkan sarapannya dan mulai ku suapi. Satu dua sendok dia masih mau menelannya, namun begitu ke tiga kalinya dia minta turun dari kursinya dan mulai lari berjalan tiga hingga empat langkah dan balik lagi ke arahku sambil tertawa cerah. Sejak itu, aku merasa dia kembali akrab dengan situasi tersebut.

Meski siangnya (waktu makan dimulai) aku tinggal pergi keluar sebentar untuk beli pampers, ternyata setelah aku kembali dia masih nangis kejer dalam pangkuan gurunya.

Ternyata malam harinya dia demam lagi, hingga pagi hari kami harus datangi bidan terdekat. Tak disangka ternyata dia begitu takutnya waktu kami duduk di ruang tunggu dia nggak mau turun dari gendonganku. Dari rautnya, terlihat jelas ketakutan kalau-kalau akan terjadi sesuatu yang akan menimpa dirinya, hingga kami masuk di ruang bidan, ia tetap nggak mau turun. Padahal setahuku, ia selalu akrab di tempat-tempat umum.


Sejak itu aku mulai lebih berhati-hati mengenalkan suasana asing.
Lagi-lagi dia jatuh sakit demam selama dua hari, terpaksa nggak ku masukkan sekolah.  Tapi tak disangka-sangka, ternyata begitu hari senin tiba aku masukkan sekolah lagi dan awalnya memang nangis kejer waktu ditinggal ayahnya, namun ternyata kata gurunya itu nggak berlangsung lama. Dan ia-pun mau bermain seperti biasanya. Hari keduanya, waktu ditinggal suamiku  dia memang nangis tapi selang berapa lama waktu diajak masuk oleh gurunya ia mulai diam.

Menurutku itu memang sedikit terasa kejam baginya, tapi itu perlu aku lakukan demi sosialisasinya dengan orang-orang, tak peduli siapapun, tentu saja dengan pengawasan tenaga pengajar alias guru yang selalu mengarahkan dan menjaganya selama di sana. Karena kenyataannya ia sendiri di rumah. Adapun teman itu kalau siang hari, dan aku nggak bisa selalu menemaninya kemanapun dia pergi karena alasan kehamilan yang membuat tenagaku harus dijaga ekstra.

Pagi hari waktu dia sudah ada dalam gendongan suamiku, dia masih menunjuk-nunjuk aku seolah mengisyaratkan “Ayo bu, berangkat” namun waktu di depan gerbang aku hanya diam berdiri, dia mulai diam saja memandangku dengan tatapan yang sedikit kecewa, seolah mengatakan “Kenapa ibu tidak ikut,” tatapannya sedikit sedih dan ia pun mau melambaikan dengan tangannya yang mungil waktu suamiku bilang “Ayo dada sama ummi”

Dari pengalaman sehari-hari,yang aku rasakan adalah mendidik anak dengan hati itu jauh lebih baik, ketimbang mendidik dengan rutinitas melulu yang aku pikir membuat hubungan kami (orang tua dan anak renggang).

Kami memang sedikit agak protek terhadap anak. Pertama, aku menghindari omongan-omongan orang yang sering membanding-bandingkan Reka dengan teman sebayanya, yang bagiku itu kurang baik untuk perkembangan mental dia. Bagiku membanding-bandingkan kemampuan satu anak dengan anak yang lain itu nggak ada gunanya, kecuali merugikan rasa kepercayaan diri pada si anak itu sendiri. Kedua, aku hindarkan ia dari pergaulan anak yang sedikit agresif (dalam bahasa kasarnya nakal).




 dan dengan orang asing pun ia selalu menyapanya dengan senyuman.

Perkembangan Amira 2-3tahun

Ledakan perolehan kosa kata terjadi dalam waktu satu tahun belakangan pasca kecelakaan di tahun 2021 Maret 28. Yang sebenarnya d...